Pengikut
Total Pembaca
Cari Blog Ini
Diberdayakan oleh Blogger.
About me
Melancong dari satu kota ke kota lain adalah kesukaanku. Melihat keindahan alam, mendaki gunung, main di pantai dan mengunjungi situs-situs budaya. Semua kisah perjalanan itu, kutulis dan kurangkai dalam blog pribadi.
Semoga isi dari blog ini menginspirasi dan memberikan informasi yang berguna.
Semoga isi dari blog ini menginspirasi dan memberikan informasi yang berguna.
Laman
About Me
Like us on Facebook
Archive for 2015
Gara-gara kentang Dieng Kualitas Super
"Setiap
perjalanan pasti meninggalkan cerita manis untuk dikenang "
Dua
kali bertandang ke Dataran Tinggi Dieng Wonosobo Jawa Tengah saya
tidak pernah membawa buah tangan berupa kentang , meskipun saya tau
kentang asal Dieng ini adalah kualitas super. Alasannya simpel saja
karena berat untuk ditenteng dan lagi pula di Jakarta banyak dijual
.
Panen Kentang |
Daerah
penghasil kentang ini punya pesona wisata yang tak habis untuk
dieksplore dalam satu kali kunjungan. Tanggal 28 November 2015 adalah
kali ketiga saya berkunjung ke Dieng. Ada spot wisata baru yang
menarik perhatian saya dan teman-teman. Seperti biasa kami
menghubungi teman kami yang tinggal di Dieng yaitu Mas Sugeng untuk
menemani kami mengeksplore spot wisata baru .
Pukul
4.30 bus yang kami naiki tiba di terminal Mendolo Wonosobo , hanya
kami berlima penumpang yang turun di terminal. Suasana di terminal
masih sepi tapi bus kecil sudah banyak berjejer “Prau..Prau..Sindoro
Sumbing,” suara teriakan para kondektur bus. Kenapa nama-nama
gunung yang mereka teriakkan, ya karena sebagian besar penumpang yang
turun di terminal Mendolo pagi itu adalah para penumpang dengan
carrier di punggungnya. Bisa ditebak tujuan mereka adalah mendaki
gunung.
Kami
berlima melangkah menuju mushola untuk sholat Subuh dan tidak
terburu-buru untuk melanjutkan perjalanan menuju Dieng. Soal tiket
pulang ini bagian terpenting , sebenarnya di jakarta tiket pulang
sudah kami pesan via telepon, tapi lebih aman jika kami membayar
setibanya di terminal. Banyak traveler melakukan hal sama dengan
kami, bisa jalan-jalan dengan tenang jika tiket sudah ada di tangan.
Sambil menunggu PO. Pahala Kencana yang buka pukul delapan kami
sarapan di salah satu warung kopi.
Kurang
lebih pukul Sepuluh kami tiba di Dieng dan langsung menuju kediaman Mas Sugeng, sebenarnya hanya buat numpang mandi sekaligus repacking
dan melengkapi logistik. Waaah panen kentang nich pikir saya ketika
masuk rumah dan menemukan kentang-kentang bertebaran dalam rumah Mas
Sugeng. Dua orang laki-laki sedang asik memilih kentang berukuran
besar dan memasukkannya ke karung. Sebenarnya ini pemandangan yang
biasa saya liat ketika ada di Dieng.
Kentang Dieng |
Akhirnya
kami berenam bisa melakukan perjalanan bersama kembali dengan tim
yang sama ketika mendaki gunung Prau tahun 2014 lalu . Kurang lebih
pukul dua saya, Dwi, Noer Diyanah, Bang Iwan, Bang
Udin dan Mas Sugeng tiba di basecamp pendakian Gunung
Pangonan Padang Savana Lembah Semurup. Untuk ngecamp kami dikenakan
biaya Rp. 10.000 perorang. Waktu tempuh dari basecamp sampai
Padang Savana kurang lebih antara 20 sampai 30 menit.
Padang Savana Lembah Semurup |
Kami
sempat kehujanan ketika sampai di Padang Savana dan beruntunglah kami
membawa flysheet , hujan reda foto-foto sebentar di Padang Savana dan
melanjutakan perjalanan kembali. Di Padang Savana Semurup ini
sebenarnya bisa buat kemping karena tempatnya luas, tapi di malam
hari tempat ini dingin sekali karena di kelilingi bukit. Lagi pula
kalau mau lihat sunset dan sunrise kita tetap harus naik ke puncak.
“Kita
ngecampnya di puncak itu ya, biar kalau liat sunrise sudah di
puncak,” kata
mas Sugeng.
“Yaa,
Gue ngak sanggup,”
celetuk Noer Diyanah.
“Coba
dulu Nchink,”
timpal saya. Nchink adalah panggilan akrab buat Noer Diyanah.
Hanya
gunung dengan ketinggian kurang lebih 2300 mdpl bahkan bisa dibilang
ini bukit, tapi treknya aduhaaai tanjakan terus tanpa bonus. Jalurnya
tanah yang gembur nggak kebayangkan kalau diguyur hujan pasti gampang
amblas. Beberapa kali kami harus kehujanan di jalan dan lagi-lagi
membentangkan flysheet untuk berteduh.
Pagi yang indah |
Sampai
di puncakpun kami kehujanan lagi, para lelaki sibuk mendirikan tenda.
Di jalan ketika hendak menghampiri mereka pandangan saya tertuju pada
kentang yang ada di tanah, ada dua yang satu berukuran besar dan
satunya kecil. Saya pungut yang besar sambil teriak “ada kentang
bisa dimasak” dan meletakkannya di samping tenda.
Saat
pagi kami disibukkan masak buat sarapan dan yang kami masak semuanya
serba karbohidrat, tak apalah karna malamnya menu kami ada pecel
sayur. Saya kebagian memasak nasi goreng dan Noer Diyanah sibuk
menyiapkan menu bihun goreng. Saat mencuci beras tiba-tiba
saya teringat pada kentang yang saya pungut di jalan.
Masak Nasi |
“Kentang
mana? ada di samping tenda kemarin, kan bisa di masak,”
celetuk saya.
Noer
Diyanah bersemangat mengupas dan mengirisnya tipis kemudian digoreng.
Pelengkap sarapan pagi kami. Saatnya sarapan dan saat mencoba kentang
goreng rasanya benar-benar enak, ini kentang Dieng kualitas super.
Karena sudah merasakan enaknya kentang Dieng Noer Diyanah berencana
membelinya untuk oleh-oleh.
Goreng Kentang |
Saat
kembali ke rumah Mas Sugeng, kentang-kentang yang ada di rumah mulai
diangkut ke mobil. Yang tersisa hanya yang kecil-kecil untuk bibit,
kami diberi gratis oleh ibunya Mas Sugeng. Dwi, Noer Diyanah dan Bang
Udin memilih dan mengambil secukupnya untuk dibawa pulang.
Gaya obrolannya sudah kayak Reporter aja; Ala-ala reportase |
Waktunya
berpamitan untuk pulang tiba-tiba kentang yang ada di dua keranjang
dimasukkan ke kantong plastik dan kami disuruh membawanya. Suasana
jadi gaduh semua bilang sudah bawa di dalam tas, semua pada bilang
“berat Bu,” Bang Iwan mengalah mengambil satu kantong dan
satu kantong lagi menjadi ancaman buat saya yang sama sekali belum
mengambil.
“Wah
saya ngak mau bawanya ini berat banget,”
protes saya. Saat saya ingin mengurangi tetap dipaksa untuk
membawanya.
“Halah
ngak berat, kan mobil yang bawanya. Nanti Sugeng yang bawa sampai ke
mobil,” seru
ibunya Mas Sugeng.
“Nantikan
kami balik ke mari lagi Bu,”
kata Bang Iwan.
“Belum
tentu pas panen, panennya aja empat bulan sekali,”
jawab ibunya Mas Sugeng.
Bang
Udin yang tadinya mau pulang dengan melenggang, berharap daypack
makin ringan nyatanya makin berat. Gara-gara memungut kentang
jadi memanggul kentang, itulah lelucon yang terlempar saat kami
berjalan menuju bus.
Saat
tiba di terminal Mendolo kentang kami bagi rata sama berat. Kami
berpisah di sini, saya dan Dwi naik bus jurusan Kampung Rambutan
sedangkan Noer Diyanah, Bang Iwan dan Bang Udin pilih bus jurusan
Cengkareng. Di bus kentang kami letakkan di bagasi di atas kepala,
bus melaju sesekali oleng ke kiri dan ke kanan mengikuti jalan yang
berliku. Ada perasaan kahwatir dengan kentang di atas kepala jadi
sesekali saya menoleh ke atas memastikan posisi kentang. Saat asik
ngobrol tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh mengenai saya, sontak kaget
sambil menoleh ke atas . Saat saya periksa bungkusan kentang saya
masih rapih terikat. Tak lama berselang ada yang jatuh lagi mengenai
saya.
“Wah
Dwi ada yang jatuh nih,”
kata saya.
Saya
cek ternyata kentang-kentang Dwi yang lolos dari plastiknya, mungkin
karna packing yang kurang rapih dan kurang kuat mengikatnya
atau mungkin dia nggak mau di bawa ke Jakarta.
Lumayan
sakit kejatuhan kentang, dan kentangnya tergeletak ada di jalan.
“Ambil
Mbak,” kata
Dwi “itu bisa
terpeleset nggak yang lewat,”
lanjutnya.
“Nggak
ah malu, paling juga ketendang,”
timpal saya.
Sampai
juga Kentang Dieng di rumah. Pagi ini rasanya tangan gagal ingin
mengolah kentang untuk sarapan, jadilah saya mengolahnya menjadi
kentang tumbuk alias mashed potato. Rasanya belum sempurna tapi bisa
untuk sarapan sehat pagi ini.
Mashed Fotato |
Tag :
Komentar,
Embung Batara Sriten; Menikmati Ketinggian Wisata Gunung Kidul
Yogyakarta sebagai kota wisata dan budaya emang selalu asik untuk dikunjungi rasanya nggak akan bosan ke Jogja dan Jogja lagi, ada banyak tempat wisata yang menarik di kota ini. Pertengahan November 2015 kemarin aku datang ke kota ini untuk menghadiri Wisudah adik, esok harinya masih ada waktu untuk jalan-jalan karena jadwal kereta pulang sengaja aku pilih yang malam. Cari info wisata baru di Jogja dari internet dan tertariklah pada nama "Embung Batara Sriten".
Setelah tanya ke adik eeeh dia tau rute-rute jalan yang akan dilewati dan beruntungnya dia mau anterin kakaknya menuju Gunung Kidul. Pukul Lima pagi kami meninggalkan hotel, motor melaju menuju Jl. Wonosari » Piyungan » Bukit Patuk atau Bukit Bintang » Pertigaan Sambipitu ke kiri menuju arah Nglipar » Perkebunan Hutan Kayu Putih » Pertigaan sebelum Pasar Nglipar ke kiri » Jalan Nglipar-Ngawen » Kedungpoh » Pertigaan timur Kantor Kepala Desa Pilangrejo tepatnya Jl. Nglipar-Ngawen Km. 6,5 ke kiri » ikuti jalan aspal dan cor blok sambil lihat penunjuk arah ke Embung Batara Sriten dan Perbukitan Baturagung (Puncak Tertinggi Gunungkidul). Setelah kurang lebih 2 jam perjalanan dan sempat nyasar juga dan tanya sana sini akhirnya kami sampai di pintu loket masuk ke Embung Batara Sriten, kami membayar biaya masuk untuk satu motor dan 2 pengunjung sebesar Rp. 8.000. Dari loket masih berjarak 1 KM lagi dengan kontur jalan berbatu, sepertinya kalau mau ke sini mesti cek kondisi kendaraan kita jangan sampai mogok ataupun ban bocor, cek juga mesin kendaraan karena perjalanan yang kita tempuh menanjak terus dengan kemiringan kurang lebih 35 derajat dari jalan mulus aspal makin ke atas jalanan makin jelek berbatu.
Pukul 7 kami tiba di parkiran kendaraan, suasana sepi dan kami duduk di salah satu bale-bale pondokan untuk istirahat sambil sarapan. Masih terlalu pagi suasana juga masih diselimuti kabut yang perlahan-lahan terangkat oleh sinar matahari. Sayang rasanya hanya duduk di bale-bale pondokan, aku beranjak untuk mengitari Embung sepintas terbesit "jauh-jauh sampai di puncak hanya ada kolam air segini doang". Apa sih Embung itu? Embung adalah tampungan air raksasa, bisa dikatakan seperti waduk. Sedangkan Batara adalah suatu prasasti Baturagung Rahayu dan Sriten itu sendiri nama daerah ini Padukuhan Sriten. Embung ini dibangun untuk menampung air hujan, nah airnya dipergunakan untuk mengairi perkebunan buah di sekitaran bukit.
Wisata Embung Batara Sriten termasuk yang terbaru di Jogja, baru dibuka secara resmi oleh Kanjeng Ratu Hermas istri Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tanggal 17 Maret 2015 dan menjadi wisata tertinggi di Gunung Kidul. Apa saja yang menarik di wisata Embung Batara Sriten? suasana pagi yang masih sepi menjadikan aku bebas untuk mengeksplor setiap sudutnya, hanya ada 3 orang pengunjung yang asik foto-foto di dekat Embung. Dari kejauhan terlihat para pekerja kebun sedang sibuk membersihkan rumput-rumput liat. Dari pinggiran Embung aku beranjak naik ke atas bukit melalui tangga menuju rumah pendopo, penasaran aja kenapa di setiap sudut selalu ada bale-bale pondokan tempat istirahat. Waaah benar ternyata di puncak inilah tempat terbaik untuk menikmati Embung Batara Sriten, posisi 360 derajat menjadikan kita bebas memandang view dari atas ketinggian. Berhati-hatilah jangan terlalu mendekati tebing, di atas puncak ini kita bisa melihat perbukitan dan persawahan serta pemukiman penduduk yang ada di bawah, di sebalah barat ada Dusun Gedang Sari, di tengah ada desa Tegal Rejo dan rawa Jombor Klaten pun terlihat dari atas puncak ini.
Aku berada di puncak tertinggi Gunung Kidul namanya Puncak Mangir di ketinggian 859 mdpl, ada tugu yang dibuat khusus untuk menandainya. Saat sampai di puncak sempat kaget soalnya di samping tugu ada bangunan makam, laaah makam siapa di atas puncak ini dan akhirnya ada yang kasih tau kalau itu bukan makam tapi sebuah petilasah prasasti yang dibangun untuk mengenang bahwa dulunya tempat ini digunakan untuk peristirahatan Petapa Raden Syeh Wali Jati. Puncak Mangir adalah tempat terbaik untuk melihat Sunset dan Sunrise dan kalau mau kempingpun bisa, cukup membayar izin perorang Rp. 10.000. Selain itu Puncak Mangir dipergunakan untuk Paralahyang mengepakkan parasutnya yang akan mendarat di lapangan Watgalih desa Pilangrejo.
Puas berada di puncak dan rasa laparpun menghampiri, kami istirahat di warung yang ada di dekat parkiran kendaraan sambil minum teh. Kepada pemilik warung bernama ibu Tumiati inilah aku banyak bertanya tentang Embung Batara Sriten ini, semoga kelak tanaman buah yang ada di Embung Batara Sriten ini tumbuh subur dan menjadi ecowisata andalan Gunung Kidul. Kami meninggalkan Embung Batara Sriten kurang lebih pukul 09.30.
Sekian cerita dari Gunung Kidul, terima kasih sudah membaca dan berkomentar.
Air Terjun Blawan
Turun dari gunung Ijen dengan kaki pegal dan badan letih terus dapat tawaran mandi di pemandian air panas itu rasanya seperti kehausan di panas terik kemudian disodorin segelas orange jus. Tawaran yang tepat buat merilekskan otot-otot kaki yang kaku.
Dari parkiran Paltuding di gunung Ijen mobil elf membawa saya dan teman-teman seperjalanan ke kawasan Pabrik Kopi Kebun Blawan, tepatnya di desa Kalianyar, kecamatan Sempol, kabupaten Bondowoso Jawa Timur. Kurang lebih 30 menit dari parkiran Paltuding ke arah jalur Ijen lewat Bondowoso.
Pemandangan yang asri begitu memasuki kawasan perkebunan dengan sungai yang mengalir di sisi kanan jalan. Ada 3 objek wisata yang bisa kita kunjungi di sini yaitu pemandian air panas, air terjun Blawan dan Gua Kapur berjarak kurang lebih 1 KM dari pintu gerbang kawasan pabrik. Yang menarik perhatian saya adalah halaman rumah-rumah penduduknya dipenuhi tanaman sayur dan bunga, hijau dan penuh warna-warni bunga yang bemekaran. Nah, jika di Paltuding kita kehabisan penginapan di kawasan Pabrik Kopi Kebun Blawan ini tersedia banyak penginapan.
Saya sudah tak sabar segera ingin rileks berendam air panas begitu mobil elf parkir di depan pintu masuk pemandian air panas. Untuk menemukan Pamandian air panas kami harus berjalan kurang lebih 300 meter dengan struktur jalan yang naik turun, cukup membayar tiket lima ribu rupiah kita sudah bisa berendam di kolam yang tak begitu luas dan merasakan pijatan alami. Setelah berendam saya pun bersih-bersih di kamar mandi yang ada di samping kolam, airnya pun panas langsung dari sumber mata air.
Setelah badan segar bugar kami mulai beranjak mencari air terjun Blawan yang letaknya tak jauh dari pemandian air panas, berjalan ke arah belakang lokasinya sedikit tersembunyi. Mengikuti papan petunjuk akhirnya kami menemukan lokasi air terjun Blawan dengan membayar tiket masuk Rp. 2.000.
Air mengalir dari dinding tanah di sisi kiri yang berasal dari aliran sungai Kali Pahit, yang juga merupakan tempat pembuangan air dari kawah ijen. Air terjun setinggi kurang lebih 30 meter ini berwarna kuning tak lain karena kandungan belerang, kepulan uapnya menutupi dinding-dinding hijau dan tebing curam disekitarnya. Air dari air terjun ini berjalan turun ke bumi atau tidak mengalir ke permukaan bumi, tapi masuk ke suatu trowongan atau sungai yang berada di bawah tanah yang kemudian ditampilkan lagi atau muncul di Asembagus, Kabupaten Situbondo ke Laut Jawa.
Sebagian dari kami sempat mengunjungi Gua Kapur tak jauh dari air terjun Blawan, sedangkan saya memilih kembali ke parkiran mobil mengingat hari telah beranjak sore dan gelap.
Pemandangan yang asri begitu memasuki kawasan perkebunan dengan sungai yang mengalir di sisi kanan jalan. Ada 3 objek wisata yang bisa kita kunjungi di sini yaitu pemandian air panas, air terjun Blawan dan Gua Kapur berjarak kurang lebih 1 KM dari pintu gerbang kawasan pabrik. Yang menarik perhatian saya adalah halaman rumah-rumah penduduknya dipenuhi tanaman sayur dan bunga, hijau dan penuh warna-warni bunga yang bemekaran. Nah, jika di Paltuding kita kehabisan penginapan di kawasan Pabrik Kopi Kebun Blawan ini tersedia banyak penginapan.
Setelah badan segar bugar kami mulai beranjak mencari air terjun Blawan yang letaknya tak jauh dari pemandian air panas, berjalan ke arah belakang lokasinya sedikit tersembunyi. Mengikuti papan petunjuk akhirnya kami menemukan lokasi air terjun Blawan dengan membayar tiket masuk Rp. 2.000.
Air mengalir dari dinding tanah di sisi kiri yang berasal dari aliran sungai Kali Pahit, yang juga merupakan tempat pembuangan air dari kawah ijen. Air terjun setinggi kurang lebih 30 meter ini berwarna kuning tak lain karena kandungan belerang, kepulan uapnya menutupi dinding-dinding hijau dan tebing curam disekitarnya. Air dari air terjun ini berjalan turun ke bumi atau tidak mengalir ke permukaan bumi, tapi masuk ke suatu trowongan atau sungai yang berada di bawah tanah yang kemudian ditampilkan lagi atau muncul di Asembagus, Kabupaten Situbondo ke Laut Jawa.
Sebagian dari kami sempat mengunjungi Gua Kapur tak jauh dari air terjun Blawan, sedangkan saya memilih kembali ke parkiran mobil mengingat hari telah beranjak sore dan gelap.
Dari Gua Surupan Sampai Pantai Sawangan, Menikmati Hari Libur Kemerdekaan
Ini kali ketiga saya main ke Gombong-Kebumen, Jawa Tengah dan untuk ketiga kalinya pula tujuannya tak lain adalah untuk caving. Tiga kali caving
gua di gombong peserta perempuannya selalu tiga, padahal berharap kali
ini akan banyak perempuannya. Perjalanan kali ini berbeda dengan
perjalanan sebelumnya, libur tiga hari di bulan Agustus membuat kami
santai mengatur perjalanan, nggak perlu lagi bergadang cari tiket kreta
Progo yang aduhaaai susahnya karena harus rebutan dengan Asosiasi
Pekerja Pelaju jalur kereta selatan yang selalu pulang di hari Jumat
malam.
Sabtu
15 Agustus 2015 pukul 05.30 kami berangkat dari stasiun Senen Jakarta
menggunakan kereta Kutojaya Utara tarif Rp. 80.000, sampai di stasiun
Gombong pukul 12.20. Dari stasiun Gombong kami di jemput mas Yos (guide caving
gua) dengan mobil operasional pantai Menganti, setelah makan siang kami
melanjutkan perjalanan menuju menuju Gombong Selatan tepatnya menuju
Desa Karang Duwur Kecamatan Ayah Kebumen.
Kurang
lebih pukul empat sore kami tiba di Pantai Sawangan, malam ini kami
akan camping di sini. Pantai Sawangan sendiri baru dibuka untuk umum
tanggal 18 Mei 2015. Objek wisata yang dikelola oleh pemuda-pemuda desa
Karang Duwur, dana untuk pengelolaannya yang mencari kepala desa. Jalan
menuju pantai Sawangan yang tadinya masih tanah kini sudah disemen, ada
tempat penitipan kendaraan dan dibangun juga 2 buah toilet umum. Objek
wisata yang mereka kelola diberi nama “Sawangan Adventure” yang meliputi
wisata pantai, air terjun, flying fox dan gua.
Dari
tempat parkir kendaraan kami berjalan ke arah bukit, mas Yos mengajak
kami ke arah tebing menunjukkan mulut Gua Sawangan dan Air Terjun
Sawangan.
“Besok kita keluarnya di mulut gua itu,” tunjuk mas Yos kepada kami.
“Kita campingnya di mana Mas?” tanya saya mengingat tempat ini luas.
“Di sana dekat Gua Siwowo,” jawab mas Yos.
Andis,
Elvi, Rizwan dan louis sudah jalan duluan ke arah tebing dekat pantai,
saya ikuti mereka melewati jalan setapak disusul Surya dan mas Indar.
Dari atas tebing saya perhatikan mereka mondar-mandir dari ujung tebing
ke tebing yang lainnya. Matahari mulai turun mendekati garis pantai dan
warna jingganya pun mulai merona, sayang meskipun cuaca cerah tapi laut
seperti diselimuti kabut.
Saya
turun menyusul mereka melihat lebih dekat sisi lain setiap sudut
pantai, dan di ujung kanan tebing tanpa kami sadari Andis sudah
mendirikan tenda dan hammock. Lokasinya lumayan keren sih view langsung
menghadap ke laut dan sunset, tapi terlalu sempit buat mendirikan 2
tenda dan memasang hammock lagi pula anginnya kenceng benget. Mas Yos
menghampirinya dan terpaksalah tenda dan hammock Andis dibongkar.
Di kolasi yang baru kami mendirikan 2 tenda dan 4 hammock, cuaca cerah jadi kami bisa melihat dengan jelas milky way sambil
masak mie instan dan minum-minuman hangat. Ngobrolin
destinasi-destinasi yang pernah kita jalani bareng sambil menahan dingin
sampai kantuk menghampiri dan waktunya mengistirahatkan badan tiba.
Caving Gua Surupan
Berhubung
Gua Surupan bukanlah gua dengan jalurnya yang panjang dan memakan waktu
yang berjam-jam, maka tidak ada target khusus jam berapa kami akan
mulai caving. Pagi
itu kami bisa santai menikmati pagi yang sepi jauh dari keramaian, nun
jauh di sana tentunya gunung-gunung padat dengan puluhan tenda para
pendaki yang akan merayakan upacara 17 Agustus. Santai menikmati pagi
udara pantai Sawangan sampai mobil menjemput kami dan menghantarkan kami
untuk sarapan di rumah Kepala Desa.
Pantai
Sawangan lokasinya dekat dengan pantai Menganti, pagi itu kami
menyempatkan menyambangi pantai Menganti yang pengelolaan fasilitasnya
berkembang pesat. Menjelang siang pukul sebelas kami kembali ke pantai
Sawangan untuk persiapan caving Gua
Surupan. Dari area perkir pantai Sawangan menuju pintu Gua Surupan desa
Argopeni kami konvoi menggunakan motor, sampai di jalan raya kemudian
melanjutkan perjalanan dengan trekking melewati semak ilalang dan
sampailah kami di mulut Gua Surupan yang besar.
"Ini kegiatan berbahaya, caving wajib didampingi oleh pemandu yang berpengalaman. Dilarang keras merusak ornamen-ornamen yang ada di dalam Gua"
Sebelum
masuk lebih ke dalam mas Yos memberikan panduan kepada kami terutama
etika-etika dalam caving diantaranya, jangan mengambil apapun selain
foto, jangan membunuh apapun selain waktu dan jangan meninggalkan apapun
selain jejak. Tetap berjalan dengan hati-hati dan jangan sampai membuat
stalaktik ataupun stalakmit yang masih tumbuh menjadi patah.
Air
sungai bawah tanah yang sedang surut membuat saya lega melewatinya,
kami terus berjalan melewati genangan dan rombongan kami cukup banyak
karena mas Yos mengajak calon guide caving
dari Sawangan Adventure. Di dalam gua mas Yos mengenalkan ornamen
batu-batuan yang ada, seperti stalaktik, stalakmit dan flowston kepada
tim Sawangan Adventure. Karakter dan ornamen-ornamen Gua Surupan tak
jauh beda dengan yang ada di gua Petruk. “Ruang besar di dalam goa namanya cember,” jelas mas Yos ketika kami berada di dalam ruang yang besar.
Di dalam Gua Surupan juga masih bisa kita jumpai hewan seperti kelelawar, katak, jangkrik bahkan udang. Saat melewati batu Andis sempat menemukan udang, sayang saat mau ditangkap keburu udangnya hanyut kebawa air. Caving dengan karakter gua yang ada sungai bawah tanahnya sebenarnya menguntungkan kita, air membawa oksigen yang cukup untuk kita selain itu udara segar selalu bisa kita rasakan. Nah kekurangannya kita harus bisa bertahan di dalam air dengan menahan dingin.
Di dalam Gua Surupan juga masih bisa kita jumpai hewan seperti kelelawar, katak, jangkrik bahkan udang. Saat melewati batu Andis sempat menemukan udang, sayang saat mau ditangkap keburu udangnya hanyut kebawa air. Caving dengan karakter gua yang ada sungai bawah tanahnya sebenarnya menguntungkan kita, air membawa oksigen yang cukup untuk kita selain itu udara segar selalu bisa kita rasakan. Nah kekurangannya kita harus bisa bertahan di dalam air dengan menahan dingin.
Sungai
bawah tanah ini akan mengalir ke mulut Gua Sawangan yang menghadap
langsung ke laut dan membentuk Air Terjun Sawangan, kami berjalan menuju
pintu gua mengikuti aliran air yang jatuh melalui batu. Untuk menuruni
batu tersebut mas Yos meminta dua orang turun terlebih dahulu untuk
membantu kami karena ketinggiannya mencapai kurang lebih dua meter. Satu
persatu kami mulai turun dengan bantuan tali webbing
dan dibantu oleh dua orang yang sudah ada di bawah. Setelah selesai
semuanya turun berjalanlah kami ke arah mulut Gua Sawangan. Satu jam
berada di dalam gua akhirnya kami bisa menemukan jalan keluar. Andis
berjalan cepat sambil melambai-lambaikan bendera merah putih diikuti
kami yang tak sabar segera melihat pemandangan di luar gua.
Subhanallah
ternyata view dari mulut Gua Sawangan memang kereen, bergantian kami
berfoto sambil mengkibar-kibarkan merah putih. Ada air terjun Sawangan
yang tingginya mencapai kurang lebih 70 meter, sayang musim kemarau yang
menyebabkan air mengalir sedikit. Dari mulut Gua Sawangan kita bisa
melihat langsung Samudera Hindia dan tebing-tebing yang menjorok ke
lautan.
Kami
berjalan menuruni tebing mendekati pantai, istirahat sebentar sambil
menunggu rombongan yang nggak puas-puas berfoto dengan latar air terjun,
mulut gua dan laut. Dari pantai kami harus trekking ke atas menuju
mulut Gua Siwowo. Di Gua Siwowo kami mencoba menuruni gua vertikal ini
dengan cara rappeliing, mas
Yos dibantu 2 orang dari Sawangan Adventure memasang peralatan. Saya
dan Andis mencoba yang pertama untuk menuruninya, mas Yos mengajarkan ke
kami cari pengopersikan alat outostop yang saya pegang di tangan kanan sambil tangan kiri mengulur webbing. Cukup mudah dan kami mulai turun dan berayun di ketinggian kurang lebih 30 meter.
Selesai rappelling
kami bersantai melepas lelah di luar mulut Gua Siwowo, sambil
menghabiskan waktu menunggu jemputan yang mengantarkan kami ke lokasi
camping malam ke dua di lokasi yang berbeda.
Indahnya
kalau pagi bisa dibangunkan oleh suara ombak. Pagi itu 17 Agustus 2015
kami harus kembali ke Jakarta. Pukul Delapan pagi kami sudah
meninggalkan area camping menuju Stasiun Gombong. Semoga suatu hari kami
bisa kembali ke daerah ini untuk mengeksplore tempat-tempat yang indah
lainnya.