- Back to Home »
- Backpacker yang Nyaris Tertinggal Kereta - Trip Gunung Prau Dieng
Kabut tebal menyambut kedatangan kami ketika kaki ini menapaki puncak Gunung Prau Dieng Senin 26 Mei 2014. Tanpa buang waktu lagi saya, Dwi, Nur, Bang Iwan, Bang Udin dan pemandu kami mas Sugeng masing-masing membongkar isi keril dan ransel untuk mengeluarkan logistik dan tenda. Saat para lelaki sIbuk mendirikan tenda, saya, Nur dan dwi menyiapkan minuman hangat dan siap memasak menu makan siang kami.
Sesekali matahari muncul di antara kabut tebal, sedikit membuat badan ini hangat dan suasana gelap menjadi terang kemudian hujan rintik datang dan berganti hujan deras, makan siang kami pun berantakan kocar-kacil lari ke tenda, barang-barang yang tertinggal di luar buru-buru kami masukkan ke tenda.
Kabut tebal hampir menutupi semua permukaan Prau, tidak ada pemandangan yang bisa kami nikmati lagi pula dinginnya udara di luar membuat badan ini menggigil, untuk menghangatkan badan terpaksa kompor kami pindahkan ke dalam tenda, masak air panas dan menyeduh minuman jahe instan. Dalam pikiran saya sayang sekali badai datang dan hanya berdiam diri di dalam tenda tanpa bisa melihat keindahan Prau dan sekitarnya.
“Biasanya kalau hujan begini, besok pagi cerah dan Gunung Sindoro bisa kelihatan,” celoteh mas Sugeng ditengah-tengah obrolan kami untuk menyairkan suasana yang benar-benar dingin.
Samar-samar suara berisik membangunkan tidur saya, untuk melihat ini pukul berapa saja rasanya malas untuk beranjak, rombongan pendaki malam mulai berdatangan dan diperkirakan jumlahnya banyak, suara mereka terdengar dari arah pos tiga. Sepertinya udara di luar mulai bersahabat aahhh biarlah saya butuh tidur dan istirahat yang cukup.
“Bintangnya kelihatan banyak, yaaa ketutup kabut lagi, ” terdengar obrolan dari tenda tetangga kanan kami dengan logat bicarangapak bahasa Tegal.
Meskipun suara mereka mengganggu tidur saya, yang terdengar di telinga rasanya lucu hahhhha akhirnya saya paksakan mata ini terbuka dan melirik jam tangan ternyata masih pukul 01.00 malam, pagi masih lama sekali dan dinginnya Prau harus saya tahan meringkuk dalam sleeping bag.
Meskipun kabut tak pernah hilang dari permukaan Prau, tapi pagi itu merahnya langit Prau telah membuat kami terpukau, Indahnya Gunung Sindoro-Sumbing terlihat jelas, semuanya berhamburan ke luar tenda dan tak lupa mengabadikannya dalam jepretan lensa.
Sesuai rencana semula seharusnya pukul 07.00 kami harus sudah bongkar tenda supaya paling telat pukul 11.00 kami sudah ada di Dieng dan bisa melanjutkan perjalanan pulang menuju Wonosobo, tapi apa boleh dikata rasanya berat sekali untuk meninggalkan Prau saya sendiri belum merasa puas menikmati suasana dan indahnya pemandangan dari atas Prau. Kurang lebih pukul 08.30 akhirnya kami siap turun dari puncak Prau dan tiba di Dieng pukul 11.00 waktu yang sesuai perencanaan.
Sambil berbenah dan merapikan bawaan di base camp mas Sugeng, saya selalu kahwatir kalau waktu yang tersisa tidak cukup untuk kami sampai di Stasiun Poncol Semarang, trip kali ini kami kehabisan tiket kereta ke Purwokerta dan jatuh pilihan pada Kreta Tawang Jaya Stasiun Poncol Semarang untuk rute pulang pergi dari Jakarta, untuk pilih transportasi bus takut kalau macet. Dwi dan Nur selalu memberi semangat Insya Allah kekejar kok.
Waktu hampir mendekati pukul 13.00 akhirnya kami bisa meninggalkan Dieng menuju Wonosobo, mata rasanya sudah tidak bisa diajak kompromi untuk melek dan tidur pun tidak bisa saya hindari lagi. Kurang lebih pukul 14.30 kami sudah tiba di Wonosobo tepatnya di luar terminal Wonosobo, sesuai arahan mas Sugeng tunggu bus ke Semarangnya jangan masuk terminal nanti lama ngetemnya. Akhirnya bus datang waktu mendekati pukul 15.00 buru-buru kami naik dan penumpangnya pun tidak penuh, dalam hati gawat bisa-bisa bus ngetem sepanjanga jalan untuk cari penumpang.
Muka-muka cemas terlihat diantara kami, Nur memberanikan diri tanya ke Kernet bus kira-kira berapa jam perjalanan sampai ke Semarang, dan ternyata empat jam karena ada perbaikan jalan dan macet. Bang Iwan buka suara untuk mendiskusikan ke kami kira-kira solusinya bagaimana supaya sebelum pukul 19.00 kami sudah ada di Semarang karena jadwal kereta kami pukul 19.00.
“Gimana ini kita sampai semarang jam tujuh,” ujar bang Iwan mencari solusi.
Saya berharap bus bisa berjalan cepat dengan waktu tempuh hanya tiga jam bukan empat jam sehingga kami masih ada waktu untuk menuju Stasiun Poncol. Dalam hati tak henti-hentinya berdoa semoga Allah SWT memudahkan perjalanan kami, dan saya yakin semua teman-teman juga berdoa supaya kami tidak tertinggal kereta.
Tiba-tiba Nur bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah bangku depan, saya bertanya ke Dwi Nur mau ngapain ooh pasti dia mau tanya-tanya sama Supir.
Tak lama Nur datang dan mendiskusikan kondisi perjalanan kami berlima.
“Tadi gw dah tanya ke Supir bisa gak sampai Semarang kurang dari jam tujuh karna kita harus ke Stasiun Poncol kereta jam tujuh, dan katanya gak bisa karna macet ada perbaikan jalan, Kernetnya bilang bisa aja tapi nambah ongkos dua ratus rIbu dan gak naikin penumpang di jalan lagi jadi langsung jalan, ada Ibu-Ibu penumpang tadi bilang kalau naik bus ini kejar kereta sampai Stasiun Poncol jam tujuh gak mungkin mana bisa dia menerobos kemacetan dengan mobil sebesar ini dan jangan mau kalau diminta tambahan ongkos, jangan percaya sebelum jam tujuh kalian sudah sampai Semarang, dan Ibu itu kasih solusi kalau kita turun aja di Bawen dari sana cari Taxi Avanza dan tawar-tawar ongkos paling mahal dua ratus rIbu langsung masuk tol, pengalaman Ibu itu sih hanya setengah jam bisa sampai Stasiun Poncol,” Jelas Nur kepada kami.
Akhirnya keputusan yang kami ambil ikuti saran Ibu itu untuk turun di Bawen dan lanjut naik Taxi Avanza, kalau sampai di Stasiun Poncol lebih dari pukul 19.00 dan kami tertinggal kereta Tawang Jaya mau cari kereta lain dan kalau bangkunya masih ada untuk lima orang. Kalau tidak ya terpaksa naik bus atau travel yang penting bisa sampai Jakarta. Kami berlima pindah bangku paling belakang supaya mudah dan cepat untuk turun.
Bus berjalan sangat pelan dan sering menaikkan penumpang sepanjang jalan, saya selalu memperhatikan jalan kenapa bus ini tidak bisa melaju cepat.
“Busnya pelan banget kayak keong,” celetuk Dwi geram.
“Jalannya menanjak mungkin busnya gak bisa cepat,” timpal saya.
“Bus Garut walaupun jalannya berkelok-kelok tetap bisa ngebut,” jawab Dwi membela.
Iya juga ya kenapa bus ini berjalan sangat pelan, padahal di depan kendaraan tidak padat. Waktu terus berjalan dan saya tak henti-hentinya berdoa semoga perjalanan ini lancar, sambil terus memperhatikan jalanan yang terkadang-kadang macet dan bus berusaha menerobosnya dan berjalan cepat, dalam hati coba dari tadi si Supir melaju cepat seperti ini.
“Ini sudah sampai mana?” tanya Dwi ke saya.
“Ungaran kayaknya, nah sudah sampai Universitas Diponegoro berarti sudah masuk kabupaten Semarang,” jawab saya sambil mengingat-ingat perjalanan sebelumnya Semarang-Wonosobo.
“Posisi kita di sini (sambil menunjukkan peta Ungaran di HP) kira-kira setengah jam bisa sampai Semarang gak?” tanya Dwi berikutnya.
“Ngak mungkin,” jawab saya sambil melirik jam tangan waktu menunjukkan pukul 17.30,akhirnya saya melirik jam juga yang sedari tadi tidak berani saya intip.
Dari bangku depan terlihat Ibu yang dimaksud Nur bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah kami, kemudian meminta kami semua bersiap-siap karena di depan Bawen sudah dekat.
Bergegas kami turun dari bus ketika kernet bus teriak “Bawen” dan mengikuti langkah si Ibu menuju tempat seperti terminal. Benar ternyata di sana berjejer Taxi Avanza, si Ibu berdialog dengan salah satu Supir dengan bahasa Jawa, menyampaikan bahwa kami harus sampai Stasiun Poncol sebelum pukul 19.00 dan tawar-menawar ongkos dan rute tol yang diambil supaya tidak terjebak macet, sambil meyakinkan kalau si Ibu pernah dari Bawean ke Poncol dengan waktu tempuh hanya setengah jam lewat tol Terboyo, Banyumanik dan Pasar Johar. Belum ada kesepakatan juga sedangkan waktu dari detik, menit terus berjalan.
“Minta tolong pak,” potong saya.
“Iya pak tolong kami kalau ngak kami ngak bisa pulang dan sudah kehabisan uang,” tambah bang Iwan nadanya memelas untuk meyakinkan.
Akhirnya sepakat ongkos yang harus kami bayar Rp.170.000, buru-buru kami menuju bagasi dan salaman kepada si Ibu sambil berterima kasih. Supir taxi yang lain bertanya.
“Ini jam berapa?” tanya Supir yang lain.
“Jam enam lebih sebelas menit” jawab salah satu dari kami.
“Hayo cepet-cepet naik,” lanjut Supir tadi.
“Siapkan aja uang untuk tolnya dari sekarang, Terboyo enam ribu, Banyumanik tujuh ribu dan Pasar Johar dua ribu,” si Ibu mengingatkan kami.
Bismillah hirrohmanirrohim, semoga lancar perjalanan ini, Dwi menyerahkan uang Rp. 20.000 pada pak Supir untuk bayar tol. Taxi meluncur melewati pintu tol Terboyo, suasana semakin hening dalam hati kami terus berdoa, Supir melaju di jalur kanan siap mendahului kendaraan lain, dan akhirnya pintu tol Banyumanik sudah di depan kami, pak Supir bertanya kenapa kok waktunya mepet seperti ini.
“Kenapa bisa mepet seperti ini waktunya, waduh saya takut ngak kekejar,” ujar Supir sambil tertawa liat kondisi kami.
“Iya pak, tadi bisnya pelan banget, untung ada Ibu tadi yang nolong kami kalau ngak gitu kami ngak bisa pulang, saya percaya Bapak bisa,” jawab bang Iwan menjelaskan sambil memberi semangat pak Supir.
Oh iya, setelah ditolong si Ibu kami lupa tanya nama Ibu itu, dalam taxi kami hanya bisa berdoa atas kebaikan Beliau semoga Allah membalasnya.
“Saya belum pernah secepat ini,” tambah pak Supir.
“Tolong kami Pak, semoga rezeki Bapak lancar ke depannya,” saya berusaha meyakinkan pak Supir dan diaminin yang lainnya.
“Kalau kita mempermudah urusan orang lain maka Allah akan mempermudah urusan kita juga Pak, gitu kata sebuah hadist,” Tambah Nur penuh semangat.
Suasana tegang kini sudah cair dan berganti optimis kami, bahwa kami sudah berusaha dan berdoa dan sekarang kami pasrah akan hasilnya. Pintu tol ketiga Pasar Johar akhirnya terlewati juga lega sekali rasanya dan pak Supir menanyakan sisa waktu tinggal berapa menit lagi.
“Masih ada sepuluh menit lagi,” jawab Dwi.
“Kalau sepuluh menit lagi masih bisa sampai Poncol,” jawaban pak Supir benar-benar bikin hati lega.
Dan benar lima menit terakhir taxi masuk parkiran Stasiun Poncol, strategi berikutnya salah satu dari kami lari duluan untuk check in tiket dan yang lain ambil barang sambil lari. Ongkos taxi saya serahkan sebelum saya turun dari taxi dan berlari ke bagasi ambil barang dan mengucapkan terima kasih banyak pada pak Supir sebelum lari menuju pintu masuk penumpang, kaki kami antri melangkah naik tangga gerbong Tawang Jaya kemudian jalan ke arah depan menuju gerbong tiga, cari bangku, letakkan keril dan ransel, duduk di bangku masing-masing sambil berucap Alhamdulillah dan tertawa akhirnya pulang ke Jakarta juga.