Pengikut

Total Pembaca

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Melancong dari satu kota ke kota lain adalah kesukaanku. Melihat keindahan alam, mendaki gunung, main di pantai dan mengunjungi situs-situs budaya. Semua kisah perjalanan itu, kutulis dan kurangkai dalam blog pribadi.

Semoga isi dari blog ini menginspirasi dan memberikan informasi yang berguna.

Laman

Like us on Facebook

Archive for 2016

Menuju 2050 MDPL Puncak Ungaran

Bermain-main dengan awan. Foto: Aldani


MENDAKI GUNUNG JANGAN LIHAT BERAPA KETINGGIANNYA, TAPI PELAJARILAH MEDANNYA.

Cuaca tampak cerah ketika mobil yang membawa kami dari stasiun Poncol Semarang, memasuki basecamp Mawar jalur pendakian Gunung Ungaran. Suasana tampak sepi, hanya beberapa orang terlihat di sekitar camping ground. Hal pertama yang kami cari adalah Riyan, kami janjian di sini untuk mendaki bersama. Saya dan Abdi mengurus SIMAKSI dan membayar biaya sebesar Rp.5.000 per orang. Kebetulan basecamp sepi, masih ada waktu untuk bersih-bersih. repacking dan membagi beban logistik.

Kurang lebih pukul 11.00 kami bersembilan, saya, Dwi, Muly, Nur, Tio, Anis, Dani, Abdi dan Riyan mulai meninggalkan basecamp. Kami sepakat akan berjalan santai selama pendakian, kemudian berjalan mengikuti Riyan. Pohon pinus menghiasi sepanjang jalur pendakian,  20 menit berjalan sampailah kami di pos 1. Pos disediakan untuk beristirahat, kami pun tak menyia-nyiakannya meskipun hanya untuk makan cokelat. Melanjutkan perjalanan memasuki  hutan heterogen dengan trek masih landai.


Istirahat bagian dari perjalanan yang menyenangkan, melemaskan otot-otot kaki sambil tarik napas

Kami sampai di pos 2, sebuah bangunan beratap seng dan beristirahat di sini. Cepat sekali untuk menemukan pos 2 pikir saya, jaraknya kurang lebih 30 menit dari pos 1. Meninggalkan pos 2, trek masih landai. Suara gemuruh air dari pipa-pipa yang terpasang di pinggir jalan menggundang perhatian saya. Sampailah kami di area terbuka, sebuah pertigaan menuju perkebunan teh. Dari landai, trek berganti mulai menanjak dan berbatu kerikil. Jalannya lebar, beberapa kendaraan motor berseliweran. Petak-petak perkebunan teh menjadikan pemandangan yang menyejukkan mata, lumayan buat menghilangkan kebosanan. Beberapa orang mendirikan tenda di sini. Kami berjalan mengikuti papan petunjuk arah menuju puncak yang terpasang di pertigaan Promasan. Saya, Muly, Dwi dan Nur sempat tertinggal rombongan karena terlalu lama berfoto di sini.


Jalan Terjal Menuju Puncak

Meninggalkan perkebunan teh, jalanan semakin menanjak. Sesekali pandangan saya masih mengarah pada hamparan pucuk-pucuk daun teh. Bonus kali ini adalah hijaunya hamparan perkebunan teh. Treknya menanjak bukan pada tanah miring, tapi kami harus menaiki tangga-tangga dari batu. Dari batu ukuran kecil hingga berukuran besar.

Bukan hal mudah untuk melewati trek berbatu. Beberapa kali saya harus meraih batang pohon untuk pegangan sebelum kaki menaiki batu atau pegangan erat pada akar pohon yang menjalar. Bahkan tangan mencengkeram erat batu dan kaki mulai menaiki batu lainnya. Baru satu jam berjalan rasanya sudah ngos-ngosan, saya lihat Nur mulai keletihan. Saya mengulurkan tangan membantu Nur menaiki batu. Riyan masih setia menemani yang tertinggal sedangkan Abdi berjalan di depan diikuti yang lain.

Kami masuk ke hutan rapat tapi trek masih berbatu, sepertinya trek akan berbatu sampai puncak. Tio duduk di salah satu dahan pohon yang rendah, yang lainnya mengikuti cara Tio termasuk saya. “Buat video mannequin challenge bagus nih,” kata Tio. Akhirnya tidak jadi karena tidak ada yang mau mengambil video, tiga laki-laki Riyan, Abdi dan Dani sudah jalan duluan dan kami berenam mengikutinya. Kami berpapasan dengan rombongan yang habis turun dari puncak, sepertinya mereka tidak nge-camp di atas, terlihat dari daypack yang mereka bawa.

Banyak yang bilang kalau gunung Ungaran sangat cocok untuk pemula, mungkin karena hanya memiliki ketinggian 2050 mdpl. Tapi meskipun hanya memiliki ketinggian 2050 mdpl, jangan pernah anggap remeh. Treknya  yang berbatu bukanlah hal mudah untuk pendaki pemula, karena benar-benar menguras tenaga. Kebetulan kami mengajak Anis yang baru pertama kali naik gunung. “Iya, main ke pantai aja naik gunung capek,” itulah komentar Anis ketika kami tanya apa rasanya naik gunung. Beberapa kali Muly membantu Anis melewati trek terjal, meskipun sering terpeleset dan jatuh tapi Anis tampak masih bersemangat.


Semakin ke puncak jalur berbatu semakin sulit. Foto: Tiolas Melati

Kami sampai di area terbuka, tak ada pohon yang menghalangi pandangan mata. Dari tempat kami berdiri, panca indera saya tertuju pada dasar lembah hijau seperti savana, puncak bukit dan petak-petak rumah penduduk. Tio mengarahkan telunjuknya sambil berkata “kita jalan sejauh itu dari bawah,” sedangkan Anis hanya berkomentar “belum sampai puncak, sedikit lagi”. Angin bertiup kencang suaranya bergemuruh, kabut mulai datang dan menghalangi pandangan mata. Abdi, Riyan dan Dani sudah tidak ada di antara kami, mereka sudah melanjutkan perjalanan. Nur berjalan duluan dan kami menyusulnya.

Meskipun saya sudah tahu dari beberapa artikel yang saya baca bahwa trek gunung Ungaran berbatu, tapi sungguh saya tidak mengira bahwa trek berbatu ini akan dilalui sepanjang jalur pendakian.  Bongkahan batu besar seolah-olah menghalangi dan memperlambat langkah kami. Semakin ke puncak, batu-batu yang menghadang di depan ukurannya semakin besar. Kami berjalan di antara himpitan batu-batu besar ataupun merangkak menaiki batu. Jalurnya semakin terjal karena kemiringannya pun kurang lebih 45 derajat. Tak ada pemandangan selain batu-batu yang berserakan, sedangkan di atas kepala ada batu besar dan runcing tegak berdiri. Puncak sudah ada di atas pikir saya, tapi napas semakin ngos-ngosan, energi saya sudah mulai terkuras habis.


Trekking melewati jalur berbatu, rasanya lutut mau copot

Tertatih-tatih kami melewati jalan terjal berbatu, Dwi dan Nur berjalan di depan. Sesekali pandangannya menoleh ke belakang menunggu kami yang berjalan semakin pelan. Sampailah kami di atas dengan selamat, pekik Allahuakbar terdengar dari suara Muly. Dia terlalu senang akhirnya bisa sampai puncak dan melewati jalan terjal berbatu.


Kehilangan Jejak

Di puncak ini pemandangan indah yang kami lihat di bawah tadi justru semakin jelas terlihat. Puncak yang memiliki area cukup luas untuk mendirikan empat sampai lima buah tenda. Sekilas pemandangan batu-batu yang berserakan di atas puncak, mengingatkan saya pada Stone Garden yang ada di Padalarang Bandung. Kemudian pandangan saya tertuju pada pergerakan awan putih yang menggumpal di bawah. Lagi-lagi kami terlalu asik, sehingga tidak menyadari akan keberadaan tiga laki-laki dalam robongan kami.

Angin bertiup semakin kencang, kabutpun sudah menghalangi pandangan mata. Ada rasa kahwatir dalam diri saya karena di puncak ini tidak ada tempat berlindung. Kami berenam berjalan ke tengah, hanya ada satu tenda kuning berdiri di sana. Dan kami sudah menebak itu bukan tenda milik Abdi, Riyan ataupun Dani. Lalu di mana mereka? cepat sekali mereka berjalan. Di bawah tadi Tio melihat Dani ada di puncak ini. Wajah-wajah cemas dan kesal mulai terlihat di antara kami. Dari angin yang bertiup kencang dan kabut yang mulai menyelimuti, kini butiran air mulai menetes mengenai tubuh saya. Saya mulai menggigil, buru-buru saya keluarkan jas hujan dan mengenakannya.


Berdiri di puncak sambil menikmati panorama indah awan dan perbukitan. Foto: Aldani

Kami masih berdiri penuh kebingungan sambil menebak di mana mereka mendirikan tenda. Teriakan panggilan nama Dani, Abdi dan Riyan sering kami pekikkan, tapi yang dipanggil tak pernah menyaut. Tio yakin kalau mereka ada di puncak sana di balik batu,  lalu pandangan saya tertuju pada batu besar yang ada di atas. Lagi-lagi puncak ditandai dengan berdirinya batu besar. Setelah berdiri di puncak tapi masih ada puncak lagi, sedangkan fisik mulai melemah. Mungkin ini yang namanya puncak Botak, sedangkan puncak yang di atas baru puncak Ungaran.

Tio mulai berjalan ke arah puncak, saya menyuruh yang lainnya untuk naik supaya kami tidak terpisah lagi. Kabut mulai tebal dan menghalangi pandangan. Saya mengikuti langkah Tio tapi baru setengah perjalanan, samar-samar Tio meneriakkan sesuatu ke arah saya. Sayang suara itu hilang terbawa angin sebelum telinga ini berhasil menangkapnya. Entahlah apa yang ingin Tio sampaikan, tak lama Tio muncul di balik batu. Tio tidak berhasil menemukan mereka, kami berbalik arah hendak turun. Dalam kondisi angin seperti ini yang kami butuhkan adalah tenda untuk berlindung, celakanya semua tenda ada pada laki-laki. Kami berpapasan dengan pendaki lain yang akan ke puncak, kepada mereka kami titip pesan siapa tau mereka bertemu dengan Riyan, Abdi dan Dani bahwa kami ada di bawah.


Puncak yang dipenuhi batu.

Belum jauh kami melangkah ada suara Riyan memanggil, ada perasaan lega karena tak perlu terlunta-lunta mencari tempat berlindung. Seketika itu juga Riyan dikeroyok pertanyaan “ada di mana sih kalian?” mereka ada di puncak dan sudah mendirikan tenda, syukur-syukur sudah ada teh panas dan nasi yang matang. Camping Area letaknya ada di balik tugu, Riyan membantu membawakan keril milik Anis dan Nur. Saya bergegas melangkah melewati batu-batu besar, Alhamdulillah setelah kurang lebih 5 jam berjalan melewati trek terjal berbatu, akhirnya sampai juga di tugu puncak gunung Ungaran.

Di balik tugu ada rimbunan pohon, saya bisa menarik napas lega akhirnya berhasil menemukan tenda kami setelah sebelumnya saya nyasar ke tenda rombongan lain. Saya menemukan Dani dan Abdi meringkuk di dalam tenda, yaa kami kira mereka sedang masak nasi atau membuat minuman hangat. Setelah sholat Ashar dijamak Djuhur kami mulai merebus air untuk membuat minuman hangat.


Angin Bertiup Sepanjang Malam

Angin terus bertiup kencang, tak mudah untuk menyalakan kompor. Hanya trangia yang mampu bertahan dengan api besar. Sudah ada teh, kopi, susu, sereal, cokelat panas siap untuk menghangatkan badan. Riyan bilang mendirikan tenda di sini aman saat angin kencang, tapi habislah kita klo hujan. Soalnya ini lembah tempat aliran air turun.

Untungnya flysheet terpasang rendah, jadi mampu menghalang angin masuk ke tenda. Tio bilang “jago nih yang pasang flysheet, tapi tidak dengan yang pasang tenda karena masih ada air yang rembes ke dalam”. Senja mulai beranjak mengejar malam, suasana berganti gelap sedangkan angin terus berhembus. Daun-daun membawa tetesan air dari kabut mengenai tenda, suara gemericiknya seperti hujan turun. Malam semakin syahdu, kami sudah sibuk menyiapkan makan malam. Dinginpun mulai menyusup menembus tulang, buru-buru jaket saya pakai sebelum badan menggigil

Tio, Riyan dan Dani duduk rapat membuat formasi untuk menghalangi angin mengenai kompor, di trangia ada nasi siap menunggu matang. Muly dan Dwi mengupas bawang, sedangkan saya dan Anis mengupas labu siam. Karena Nur sedang tidak fit, makanya dia hanya rebahan di tenda. Abdi hanya melihat aktifitas kami dari tenda, akhirnya kami panggil dengan sebutan Mandor.

Dani menyerah tidak kuat menahan dingin, dia buru-buru masuk tenda dan posisinya digantikan Abdi untuk menggoreng ayam. Nasi sudah matang tapi harus menunggu sayur matang, setelah sayur matang harus menunggu ayam goreng matang. Benar kata Riyan setelah semuanya matang nanti sudah dingin, ya sudahlah akhirnya kami buru-buru untuk makan lagi pula jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.


Siap-siap masak untuk makan malam, yang lain keletihan di dalam tenda. Foto: Aldani

Malam semakin larut, kami sudah berada di dalam tenda masing-masing. Saya menyusup di antara Nur dan Dwi, meringkuk di dalam sleeping bag mencari kehangatan. Tak ada malam yang sunyi, gemuruh suara angin terus berhembus, gemericik tetesan air terus terdengar. Saya mulai memejamkan mata, berusaha tidur untuk menghilangkan letih.

Menjelang subuh saya terbangun dan tak terdengar lagi suara angin ataupun tetesan air. Suasana berganti riuh karena satu persatu dari kami mulai terbangun. Tio menawarkan untuk melihat sunrise tapi tak ada yang tertarik karena cuaca mendung.

Selamat pagi, kami keluar tenda untuk menghirup udara segar. Ketika terang saya bisa melihat dengan jelas di sekeliling saya. Kami seperti berada di hutan hujan tropis, dimana pohon-pohon ditumbuhi lumut dan udaranya lembab. Seperti berada di Bukit Raya yang ada di Kalimantan.


Mari berdoa semoga turun selamat, lupakan treknya karena ada view cantik di depan. Foto: Aldani


Turun Dengan Selamat

Pukul sembilan pagi, setelah sarapan kami mulai meninggalkan puncak. Cuaca tampak cerah, puncak tugu sudah dipenuhi rombongan laki-laki. Akhirnya kami memilih tempat lain untuk berfoto. Berdirilah di dekat tebing, maka ada gumpalan awan putih yang indah di bawah. Saya buru-buru mengabadikannya dengan smartphone yang saya bawa sebelum awan gelap datang. Cuaca memang cepat sekali berubah dan anginpun mulai bertiup kencang. Di sudut lain, terlihat puncak gunung Andong, Merbabu dan Merapi di antara gumpalan awan putih.


Nur dan Dwi turun duluan disusul Riyan dan Abdi, saya pun tak ingin berlama-lama di sini segera beranjak untuk menyusul mereka. Saat turun sama sulitnya saat mendaki, tidak ada pilihan selain melewati jalan terjal dan berbatu. Kabut semalam menyisakan batu-batu yang basah, tanah yang becek dan licin. Terkadang saya harus duduk dulu supaya kaki bisa menyentuh dasar.


harus hati-hati karena keselamatan adalah hal utama. Foto: Aldani

Anis mulai kepayahan menuruni batu dengan keril yang dia bawa, akhirnya Abdi membantu untuk membawanya. Meskipun sudah berjalan tanpa beban, nyatanya Anis masih sempoyongan. Entah sudah berapa kali dia harus terpeleset dan jatuh. Kami harus mengajarinya cara mencari pijakan kaki supaya tidak terpeleset. Hujan mulai turun dengan lebat, butiran-butiran airnya mengenai wajah dan kami harus mengenakan jas hujan supaya badan tidak terlalu basah. Nur, Dwi, Abdi dan Dani sudah terlalu jauh berjalan di depan. Saya masih menemani Anis menuruni batu, sedangkan di belakang masih ada Tio, Muly dan Riyan yang berjalan santai. Saat turun kami harus bergantian dengan rombongan lain yang akan naik. 

Tiga jam berjalan sampailah saya di kawasan perkebunan teh. Ada yang aneh dengan sepatu yang saya pakai, ketika saya cek aaahh ternyata sepatu ini sudah tak mampu lagi diajak berjalan jauh. Saya menggantinya dengan sandal jepit yang saya bawa. Untungnya trek sudah landai, jadi saya bisa mempercepat langkah. Sambil lari-lari kecil saya mulai meninggalkan gunung Ungaran menuju basecamp Mawar. Selamat tinggal Ungaran, semoga suatu saat bisa kembali.


Tak pernah ada jalan menurun jika tak pernah didaki


Cara Menuju Gunung Ungaran:

Gunung Ungaran di Semarang Jawa Tengah dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu jalur Jimbaran atau basecamp Mawar, jalur Gedong Songo dan Jalur Medini atau Promasan. Sedangkan kami memilih jalur basecamp Mawar.

Jika Anda berasal dari Jakarta, bisa naik kereta api tujuan stasiun Poncol atau stasiun Tawang Semarang. Cara termudah menuju basecamp Mawar adalah dengan menyewa mobil. Kami menyewa untuk pulang pergi dengan biaya Rp. 700.000 sudah termasuk supir, BBM dan tiket tol, lokasi penjemputannya di stasiun Poncol Semarang. Di stasiun Poncol sendiri banyak yang menawarkan sewa mobil, pintar-pintarlah untuk menawar.

Alternatif lainnya dari stasiun Poncol atau Tawang menuju terminal Terboyo naik mikrolet, dari Terboyo ganti bis tujuan Ambarawa atau Salatiga mintalah turun di daerah Tegal Panas atau Rumah Sakit Ken Saras atau Pasar Babadan. Kemudian bisa memilih moda trasportasi mikrolet menuju pasar Jimbaran. Dari Pasar jimbaran ke basecamp  Mawar bisa ditempuh dengan ojek.

Mencicipi Laksa Betawi

Tak harus orang Betawi untuk bisa membuat laksa yang enak  
Potongan ketupat itu Ia masukkan ke mangkok, ditambah tauge, mie soun, beberapa potongan oncom dan daun kemangi, kemudian disiram kuah kari panas. Supaya tauge dan yang lainnya layu dan matang, beberapa kali laki-laki tua itu harus menuangkan kuah kari ke mangkok kemudian menumpahkannya kembali ke dandang. Menuangkan kuah kari ke mangkok dan menumpahkannya lagi ke dandang. Sabtu siang itu, Kakek sedang meracik 6 mangkok laksa pesanan kami.

Laksa Betawi yang kental bumbu

Sekarang saatnya saya mencicipi laksa buatan Kakek. Kuah karinya kental dengan bumbu, rasanya gurih. Aroma jahe dan kemirinya pekat terasa di lidah saya. Meskipun laksa buatan Kakek tidak ditaburi bawang goreng, tapi wangi daun kemangi tetap membuat laksa ini beraroma lezat. Sebagai pelengkap, tambahkan sambal atau kecap manis. Saya menghabiskannya sebelum laksa menjadi dingin.

Meskipun usianya sudah 70 tahun, tapi tangannya masih cekatan meracik laksa untuk para pelanggan. Saat ditanya siapa namanya, si Kakek hanya memperlihatkan KTP nya, ooh ternyata nama Kakek Sajam Muhamad Chambari. Ia biasa dipanggil Ngkong, sesungguhnya Ia bukan orang Betawi. Kampung halamannya di Cilacap. Sebelumnya Kakek berprofesi sebagai buruh bangunan di Surabaya, kemudian tahun 1980 pindah ke Jakarta dan mulai berjualan laksa. Sudah 35 tahun Kakek berjualan laksa dan rasanya selalu enak, karena Kakek tidak pernah mengurangi bumbu, laksanya selalu dimasak dengan banyak bumbu. Awal berjualan semangkok laksa seharga Rp.50 tapi sekarang semangkok laksa seharga Rp. 10.000.

Masih cekatan meracik laksa tanpa asisten

Laksa enak Kakek saya temui di kawasan Setu Babakan, Srengseng Sawah Jagakarsa Jakarta Selatan. Laksa enak ini dimasak sendiri oleh Kakek. Pukul 6 pagi Kakek mulai mendorong gerobak dari kediamannya di Lenteng Agung Jakarta selatan menuju Setu Babakan. Sedikit sulit untuk menemukan warung Kakek, karena di Setu Babakan yang menjual laksa tidak hanya Kakek. Apalagi di gerobaknya tidak ada nama khusus sebagai penanda, hanya ada tulisan "Toge Goreng, Laksa". Bahkan ada yang menyebutnya laksa Pak Laksa. Sebagai patokan untuk menemukan warung laksa Kakek, lokasinya tak jauh dari mushola atau barisan sebelah kanan dari Galeri Batik.

Sambil menikmati laksa kami ditemani Kakek bercerita, giginya yang ompong membuat kami harus mencerna setiap kata yang diucapkannya. Karena rasanya yang enak, Kakekpun sering diundang membuat laksa di acara pesta pernikahan. "Dibawa pakai mobil ke kota," cerita Kakek dengan suara yang kurang jelas. Kakek juga hafal dengan para pelanggannya, biasanya warung Kakek akan ramai dengan pelanggan saat weekend. Kakek selalu menunggu kedatangan para pelanggannya "besok kayaknya mobil kijang itu datang, 5 mobil," kata Kakek. Besok Kakek akan membuat laksa yang enak untuk menyenangkan pelanggannya.

Heni tampak asik menikmati laksa, Mbak Lulu kayaknya kepedasan

Tapi bulan depan sebelum Ramadhan, Kakek akan pulang ke kampungnya di Cilacap. Laksanya akan libur selama sebulan. Kakek akan menjalankan ibadah puasa Ramadhan bersama istri dan anak-anaknya di kampung. Kamipun meninggalkan warung laksa Kakek dengan perut kenyang, setelah taxi yang kami pesan datang.


Catatan:
Cara menuju Setu Babakan bisa ditempuh dengan kereta api, berhenti di stasiun Lengeng Agung, dari stasiun bisa dilanjutkan denga ojek.


Menanti Senja di Pulau Nusakambangan

"Jika ingin backpacking ke suatu tempat, siapkan fisik dan mental. Ada banyak kejutan yang kita temui di perjalanan"
Sepotong senja Nusakambangan

Libur Imlek Februari 2016, Elvy mengajak berkunjung ke Cilacap. Sebenarnya ini rencana dadakan, jadi untuk mendapatkan tiket Kereta Api rasanya mustahil, tak ada pilihan selain naik bis. Kami janjian kumpul di terminal Kampung Rambutan Jumat pukul 9 malam, karena jadwal bis menuju Cilacap dari terminal ini hanya sampai pukul 9 malam . 

Pukul 8 malam saya tiba di terminal Kampung Rambutan, sedangkan Elvy masih terjebak macet di jalan Gatot Subroto. Seperti biasanya, jalanan di Jakarta Jumat malam luar biasa macet, apalagi menjelang long weekend. Sampai juga Elvy di terminal Kampung Rambutan, dari 7 orang yang akan ikut ke Cilacap ternyata 3 orang batal. Nisa juga sudah sampai, saya dan Elvy menghampirinya di luar terminal. Kami bertiga menunggu Andis yang entah terjebak macet di mana, menjelang pukul 10 akhirnya Andis datang.

Di dalam terminal, bis jurusan Cilacap sudah berangkat semua, tidak ada yang ngaret sampai pukul 10 malam. Alternatifnya kami akan naik bis jurusan Tasikmalaya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Cilacap. Di barisan bis yang parkir kami melihat ada bis jurusan Karangpucung, Andis dan Nisa mengecek peta di HP . Dilihat dari peta dan jika dibandingkan dengan Tasikmalaya, posisi Karangpucung lebih dekat dengan Cilacap. Akhirnya kami memutuskan untuk naik bis jurusan Karangpucung.

Kami masuk bis melalui pintu belakang, Andis meletakkan carriernya dan duduk di bangku paling belakang disusul Nisa, saya dan Elvy.

“Ini smoking area ya?” pertanyaan yang dilontarkan Elvy saat melihat ada penumpang merokok di bangku belakang.

“Oh my God! Andis, ini nggak ada AC nya,” tampak ragu-ragu Elvy melangkahkan kakinya.

“Nggak ada pilihan lain,” kata Andis “Kalian duduk aja di bangku 3 di depan,” lanjutnya.

Pukul 10 pagi kami tiba di terminal Karangpucung, untuk sampai ke Cilacap kami harus menyambung 2 kali naik micro bus, dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam. Sesampainya di Cilacap, ada Om Ristanto Heru Widodo yang menjemput kami. Setelah istirahat, mandi dan makan siang di rumah Om Ristanto Heru Widodo, bergegaslah kami menuju pantai Teluk Penyu.


Mari piknik agar hidup makin seimbang

Liburan di Cilacap, destinasi yang kami tuju adalah kemping di pulau Nusakambangan. Ada 6 orang dari komunitas Patrapala (Pertamina Pecinta Alam) Cilacap termasuk Om Ristanto Heru Widodo, dan 3 orang dari Basarnas (Badan Search and Rescue Nasional) Cilacap yang akan mengantar dan menemani kami. Cuaca di pantai Teluk Penyu siang itu tampak cerah, suasananya ramai oleh pengunjung. Kapal kayu berkapasitas 15 orang sudah bersandar di pantai, tapi kami harus menunggu Mbak Dian dan suaminya yang belum juga datang.

Menjelang pukul 3 sore kami meninggalkan pantai Teluk Penyu. Ombak di laut tenang, hampir tak ada riak yang akan menggoyangkan kapal. Semilir hembusan angin laut, menerpa membuat mata ini semakin mengantuk. 15 menit menyeberangi lautan, akhirnya kaki ini bisa menyentuh pasir putih pulau Nusakambangan. Komandan Heru, sapaan hangat dari Patrapala untuk Om Ristanto Heru Widodo menghitung jumlah peserta. Lengkap 13 orang dan kami berjalan masuk ke dalam hutan pulau Nusakambangan.

Awalnya saya kira begitu turun dari kapal sudah bisa menemukan area untuk kemping. Ternyata harus trekking ke dalam hutan Nusakambangan. Ini adalah pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di Nusakambangan. Trek yang kami lewati didominasi jalan menanjak, kami sempat istirahat dua kali. Jalanan basah dan becek membuat kami harus berhati-hati melewatinya. Di tengah perjalanan kami menemukan pohon besar yang tumbang. Teman Basarnas bilang jika keluar dari Nusakambangan, pohon ini bisa berharga mahal seperti pohon jati. Namanya pohon Taun, salah satu tanaman khas endemik Nusakambangan.

Istirahat mumpung dapat signal HP 

Trekking menerobos hutan Nusakambangan

Pukul 04.30 sore, setelah trekking selama 1.5 jam menerobos hutan rapat, sampailah kami pada area hutan terbuka. Aroma khas laut mulai tercium, pasir putih dan birunya laut terpampang di depan. Di sinilah area kemping kami, pantai Kali Empat Nusakambangan Timur. Matahari masih bersinar di atas garis laut, posisinya tepat di depan kami. Di sini tempat yang tepat untuk menyaksikan sunset.

Tiga tenda sudah kami dirikan, Om Joko merebus air untuk menyeduh teh dan kopi. Meskipun hari masih terang, api unggun telah dinyalakan oleh teman Basarnas. Kami melewati sore dengan bercengkerama, memandang laut lepas dengan ombak bergulung dan pecah ketika menyentuh batu karang. Komandan Heru tak henti-hentinya melempar lelucon, kami terpingkal-pingkal dibuatnya.


Santai menanti senja

Hidden paradise

Perjalanan jauh membuat Elvy tak mampu menahan kantuk dan letih, ia telah tertidur di atas hammock. "Jauh-jauh dari Jakarta, hanya untuk numpang tidur," Komandan Heru mengomentarinya. Bagi kami, ini tempat yang tepat untuk berlibur dan melepas penat. Pantai yang sepi dan yang terpenting ada sumber air tawar untuk kebutuhan kami.

Matahari perlahan-lahan turun, sayang cahaya emasnya terhalang oleh awan gelap. Semburat kilau emasnya menebar di langit. Kami berlari mendekati garis pantai, duduk menikmati senja, merasakan lembutnya pasir putih, menatap setiap gulungan ombak yang datang silih berganti. Kemudian perlahan-lahan cahaya senja memudar, berganti gelap dan malampun datang. Komandan Heru memanggil kami untuk meninggalkan pantai, karena air laut mulai pasang.

Pantai Kali Empat Nusakambangan

Menikmati senja

Saat malam tak banyak yang bisa kami lakukan, hanya duduk-duduk sambil bergurau. Kami menikmati bekal untuk makan malam yang telah kami bawa. Sebenarnya jika air laut surut, kami akan diajak mencari kerang di sekitar batu karang, tapi air laut belum juga surut. Badan ini terlalu letih setelah menempuh perjalanan panjang, saya ingin beristirahat di tenda. Tampaknya cuaca malam kurang bersahabat, kilau petir terlihat di langit, angin berhembus kencang dan gerimispun mulai turun. Elvy dan Nisa yang awalnya akan tidur di hammock segera masuk ke tenda. Terpal yang tadinya dijadikan alas duduk, buru-buru dibentangkan dijadikan tenda. Entah pukul berapa hujan mulai berhenti, saya sudah terlelap karena letih.

Komandan Heru, di manapun dan kapanpun selalu melucu 

Cuaca kembali cerah keesokan hari, teman-teman telah disibukkan untuk membersihkan dan merebus hasil perburuan tengah malam. Ada banyak kerang mata kebo, beberapa ikan dan kepiting. Yang lebih ekstrim adalah tupai panggang hasil berburu teman Basarnas. Komandan Heru mengajak kami untuk menyusuri pantai, jauh-jauh dari Jakarta jangan hanya numpang tidur katanya. Selain kami yang datang menikmati liburan, pantai ini juga didatangi oleh warga yang hobi memancing. Setelah sarapan, kami mulai berkemas untuk meninggalkan pantai Kali Empat dan mengakhiri liburan di Nusakambangan.

Mengolah kerang mata kebo untuk sarapan

Menikmati setiap gulungan ombak yang datang

Semua orang tahu, Nusakambangan adalah sebuah pulau yang dikenal sebagai tempat terletaknya beberapa Lembaga Permasyarakatan berkeamanan tinggi di Indonesia. Tapi bagian Timur pulau ini terbuka untuk umum, kita bisa menikmati keindahan pantainya.

Santai sambil memandang laut lepas

Ikan Bayam, sayang sudah banyak lalat yang datang.

- Copyright © Jalan-jalan Asik - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -