- Back to Home »
- Komentar »
- Gara-gara kentang Dieng Kualitas Super
Posted by : Jalan-jalan Asik
2 Des 2015
"Setiap
perjalanan pasti meninggalkan cerita manis untuk dikenang "
Dua
kali bertandang ke Dataran Tinggi Dieng Wonosobo Jawa Tengah saya
tidak pernah membawa buah tangan berupa kentang , meskipun saya tau
kentang asal Dieng ini adalah kualitas super. Alasannya simpel saja
karena berat untuk ditenteng dan lagi pula di Jakarta banyak dijual
.
Panen Kentang |
Daerah
penghasil kentang ini punya pesona wisata yang tak habis untuk
dieksplore dalam satu kali kunjungan. Tanggal 28 November 2015 adalah
kali ketiga saya berkunjung ke Dieng. Ada spot wisata baru yang
menarik perhatian saya dan teman-teman. Seperti biasa kami
menghubungi teman kami yang tinggal di Dieng yaitu Mas Sugeng untuk
menemani kami mengeksplore spot wisata baru .
Pukul
4.30 bus yang kami naiki tiba di terminal Mendolo Wonosobo , hanya
kami berlima penumpang yang turun di terminal. Suasana di terminal
masih sepi tapi bus kecil sudah banyak berjejer “Prau..Prau..Sindoro
Sumbing,” suara teriakan para kondektur bus. Kenapa nama-nama
gunung yang mereka teriakkan, ya karena sebagian besar penumpang yang
turun di terminal Mendolo pagi itu adalah para penumpang dengan
carrier di punggungnya. Bisa ditebak tujuan mereka adalah mendaki
gunung.
Kami
berlima melangkah menuju mushola untuk sholat Subuh dan tidak
terburu-buru untuk melanjutkan perjalanan menuju Dieng. Soal tiket
pulang ini bagian terpenting , sebenarnya di jakarta tiket pulang
sudah kami pesan via telepon, tapi lebih aman jika kami membayar
setibanya di terminal. Banyak traveler melakukan hal sama dengan
kami, bisa jalan-jalan dengan tenang jika tiket sudah ada di tangan.
Sambil menunggu PO. Pahala Kencana yang buka pukul delapan kami
sarapan di salah satu warung kopi.
Kurang
lebih pukul Sepuluh kami tiba di Dieng dan langsung menuju kediaman Mas Sugeng, sebenarnya hanya buat numpang mandi sekaligus repacking
dan melengkapi logistik. Waaah panen kentang nich pikir saya ketika
masuk rumah dan menemukan kentang-kentang bertebaran dalam rumah Mas
Sugeng. Dua orang laki-laki sedang asik memilih kentang berukuran
besar dan memasukkannya ke karung. Sebenarnya ini pemandangan yang
biasa saya liat ketika ada di Dieng.
Kentang Dieng |
Akhirnya
kami berenam bisa melakukan perjalanan bersama kembali dengan tim
yang sama ketika mendaki gunung Prau tahun 2014 lalu . Kurang lebih
pukul dua saya, Dwi, Noer Diyanah, Bang Iwan, Bang
Udin dan Mas Sugeng tiba di basecamp pendakian Gunung
Pangonan Padang Savana Lembah Semurup. Untuk ngecamp kami dikenakan
biaya Rp. 10.000 perorang. Waktu tempuh dari basecamp sampai
Padang Savana kurang lebih antara 20 sampai 30 menit.
Padang Savana Lembah Semurup |
Kami
sempat kehujanan ketika sampai di Padang Savana dan beruntunglah kami
membawa flysheet , hujan reda foto-foto sebentar di Padang Savana dan
melanjutakan perjalanan kembali. Di Padang Savana Semurup ini
sebenarnya bisa buat kemping karena tempatnya luas, tapi di malam
hari tempat ini dingin sekali karena di kelilingi bukit. Lagi pula
kalau mau lihat sunset dan sunrise kita tetap harus naik ke puncak.
“Kita
ngecampnya di puncak itu ya, biar kalau liat sunrise sudah di
puncak,” kata
mas Sugeng.
“Yaa,
Gue ngak sanggup,”
celetuk Noer Diyanah.
“Coba
dulu Nchink,”
timpal saya. Nchink adalah panggilan akrab buat Noer Diyanah.
Hanya
gunung dengan ketinggian kurang lebih 2300 mdpl bahkan bisa dibilang
ini bukit, tapi treknya aduhaaai tanjakan terus tanpa bonus. Jalurnya
tanah yang gembur nggak kebayangkan kalau diguyur hujan pasti gampang
amblas. Beberapa kali kami harus kehujanan di jalan dan lagi-lagi
membentangkan flysheet untuk berteduh.
Pagi yang indah |
Sampai
di puncakpun kami kehujanan lagi, para lelaki sibuk mendirikan tenda.
Di jalan ketika hendak menghampiri mereka pandangan saya tertuju pada
kentang yang ada di tanah, ada dua yang satu berukuran besar dan
satunya kecil. Saya pungut yang besar sambil teriak “ada kentang
bisa dimasak” dan meletakkannya di samping tenda.
Saat
pagi kami disibukkan masak buat sarapan dan yang kami masak semuanya
serba karbohidrat, tak apalah karna malamnya menu kami ada pecel
sayur. Saya kebagian memasak nasi goreng dan Noer Diyanah sibuk
menyiapkan menu bihun goreng. Saat mencuci beras tiba-tiba
saya teringat pada kentang yang saya pungut di jalan.
Masak Nasi |
“Kentang
mana? ada di samping tenda kemarin, kan bisa di masak,”
celetuk saya.
Noer
Diyanah bersemangat mengupas dan mengirisnya tipis kemudian digoreng.
Pelengkap sarapan pagi kami. Saatnya sarapan dan saat mencoba kentang
goreng rasanya benar-benar enak, ini kentang Dieng kualitas super.
Karena sudah merasakan enaknya kentang Dieng Noer Diyanah berencana
membelinya untuk oleh-oleh.
Goreng Kentang |
Saat
kembali ke rumah Mas Sugeng, kentang-kentang yang ada di rumah mulai
diangkut ke mobil. Yang tersisa hanya yang kecil-kecil untuk bibit,
kami diberi gratis oleh ibunya Mas Sugeng. Dwi, Noer Diyanah dan Bang
Udin memilih dan mengambil secukupnya untuk dibawa pulang.
Gaya obrolannya sudah kayak Reporter aja; Ala-ala reportase |
Waktunya
berpamitan untuk pulang tiba-tiba kentang yang ada di dua keranjang
dimasukkan ke kantong plastik dan kami disuruh membawanya. Suasana
jadi gaduh semua bilang sudah bawa di dalam tas, semua pada bilang
“berat Bu,” Bang Iwan mengalah mengambil satu kantong dan
satu kantong lagi menjadi ancaman buat saya yang sama sekali belum
mengambil.
“Wah
saya ngak mau bawanya ini berat banget,”
protes saya. Saat saya ingin mengurangi tetap dipaksa untuk
membawanya.
“Halah
ngak berat, kan mobil yang bawanya. Nanti Sugeng yang bawa sampai ke
mobil,” seru
ibunya Mas Sugeng.
“Nantikan
kami balik ke mari lagi Bu,”
kata Bang Iwan.
“Belum
tentu pas panen, panennya aja empat bulan sekali,”
jawab ibunya Mas Sugeng.
Bang
Udin yang tadinya mau pulang dengan melenggang, berharap daypack
makin ringan nyatanya makin berat. Gara-gara memungut kentang
jadi memanggul kentang, itulah lelucon yang terlempar saat kami
berjalan menuju bus.
Saat
tiba di terminal Mendolo kentang kami bagi rata sama berat. Kami
berpisah di sini, saya dan Dwi naik bus jurusan Kampung Rambutan
sedangkan Noer Diyanah, Bang Iwan dan Bang Udin pilih bus jurusan
Cengkareng. Di bus kentang kami letakkan di bagasi di atas kepala,
bus melaju sesekali oleng ke kiri dan ke kanan mengikuti jalan yang
berliku. Ada perasaan kahwatir dengan kentang di atas kepala jadi
sesekali saya menoleh ke atas memastikan posisi kentang. Saat asik
ngobrol tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh mengenai saya, sontak kaget
sambil menoleh ke atas . Saat saya periksa bungkusan kentang saya
masih rapih terikat. Tak lama berselang ada yang jatuh lagi mengenai
saya.
“Wah
Dwi ada yang jatuh nih,”
kata saya.
Saya
cek ternyata kentang-kentang Dwi yang lolos dari plastiknya, mungkin
karna packing yang kurang rapih dan kurang kuat mengikatnya
atau mungkin dia nggak mau di bawa ke Jakarta.
Lumayan
sakit kejatuhan kentang, dan kentangnya tergeletak ada di jalan.
“Ambil
Mbak,” kata
Dwi “itu bisa
terpeleset nggak yang lewat,”
lanjutnya.
“Nggak
ah malu, paling juga ketendang,”
timpal saya.
Sampai
juga Kentang Dieng di rumah. Pagi ini rasanya tangan gagal ingin
mengolah kentang untuk sarapan, jadilah saya mengolahnya menjadi
kentang tumbuk alias mashed potato. Rasanya belum sempurna tapi bisa
untuk sarapan sehat pagi ini.
Mashed Fotato |