Pengikut

Total Pembaca

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Melancong dari satu kota ke kota lain adalah kesukaanku. Melihat keindahan alam, mendaki gunung, main di pantai dan mengunjungi situs-situs budaya. Semua kisah perjalanan itu, kutulis dan kurangkai dalam blog pribadi.

Semoga isi dari blog ini menginspirasi dan memberikan informasi yang berguna.

Laman

Like us on Facebook

Archive for Juni 2015

Tarian Penghuni Taman Nasional Tanjung Puting

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen "Awesome Journey" Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com.




Kapal Klotok meninggalkan Pelabuhan Kumai, berlayar menyusuri Sungai Sekonyer. Penumpang menempati geladak atas. Gita duduk di kursi santai, tatapannya menerobos hutan belantara. Aku menghampirinya, sahabatku ini menjadi pemurung sejak ia tidak lulus dalam seleksi beasiswa S2 ke Jepang.

“Kita memang harus punya cita-cita, harus memperjuangkannya tapi Tuhan punya rencana lain untuk hidupmu Git,” ucapanku membuyarkan lamunannya.

Ada genangan di kelopak matanya yang siap mengalir. Aku berusaha menghiburnya, kurangkul Gita dari belakang.

“Kamu masih bisa mencobanya lagi tahun depan. Sekarang kita nikmati liburan ini, mana ada wisata seperti  ini di Jepang.”

Gita mulai tersenyum, tangannya menyeka butiran yang mengalir di pipi.

“Terima kasih ya, sudah mengajakku berlibur ke tempat ini.”

Kapal melaju dengan kecepatan 10 kilometer per jam. Pohon nipah menghiasi di kiri dan di kanan sungai, akar dan batangnya mampu bertahan hidup di air. Semakin jauh pemandangan berganti dengan rimbunan pohon rasau, si pandan berduri. Angin berhembus kencang, menghantarkan aroma wangi pandan ke indera penciumanku. Ajaib, aromanya bisa sampai ke kapal.

“Aku lapar,” Gita melirikku.

“Ayo kita makan, di meja makan sudah lengkap menu makan siang,” kutarik tangan Gita menuju meja makan.

***

Nahkoda menyandarkan kapal di dermaga Camp Tanjung Harapan, wilayah konservasi Taman Nasional Tanjung Puting. Kami berjalan di atas jembatan kayu, melewati Visitor Information Centre kami menemukan taman budidaya anggrek.

“Ini cantik sekali, lihat bunganya warna-warni!” Gita terpesona melihat anggrek yang bermekaran.

“Ini anggrek hutan,” jelas ku.

Aku berjalan mengikuti rombongan menuju Feeding Station, ada jadwal pemberian makan untuk orangutan pukul 15.00. Satu dua langkah yang kuayunkan mengundang langkah-langkah Gita. Kedatangan kami disambut oleh Leo, orangutan jantan berusianya 30 tahun dengan bobot hampir 60 kilogram.

Teater alam telah dibuka, penonton duduk di kursi kayu berjarak 5 meter dari panggung. Leo  duduk di sana bersandar di pohon. Tak lama berselang Renger datang membawa sekarung pisang dan seember susu dan diletakkan di panggung. Leo hanya melirik, tak ada tanda-tanda untuk meraih dan memakannya.

“Kenapa Leo tidak memakannya?” Gita penasaran.

“Mungkin dia sudah kenyang,” jawabku

“Kenapa orangutan lainnya belum juga datang?”

“Sstt... jangan keras-keras, nanti mereka terganggu dan takut mendekat,” tegurku.

Dahan pohon bergoyang-goyang, puluhan pasang mata mengarah padanya. Satu orangutan bergelantungan di pohon yang tinggi. Tangannya yang panjang meraih dahan pohon, kakinya mencengkeram batang pohon kemudian berayun dan meliuk-liuk untuk turun. Ia berpindah dari satu pohon ke pohon lain dan berhenti pada pohon tak jauh dari Leo. Gerakannya tampak ragu untuk mendekati panggung. Satu per satu orangutan datang, berayun-ayun menuruni pohon. Tak ada satupun yang berani mendekati panggung.

“Kenapa mereka nggak mau turun ke panggung?” bisik Gita.

“Mereka takut sama Leo, dia kan penguasa di sini.”

Kuarahkan kameraku untuk membidik setiap gerak-gerik mereka. Tak berapa lama induk orangutan yang menggendong bayi turun ke panggung. Diraih dan digenggamnya pisang itu, kemudian dimasukkan ke mulut. Kini mulutnya bulat penuh dengan pisang dan segera menyingkir dari panggung.

Aksi induk orangutan tadi mengundang keberanian orangutan lainnya, mereka segera turun dan mendekat ke panggung. Dimasukkan sebanyak-banyaknya pisang itu ke mulutnya dan buru-buru kembali ke pohon.

“Wah mereka cerdik juga,” celetuk Gita.

“ Hahahaha muka mereka lucu sekali,” aku tak bisa menahan tawa.

***

Ada kejutan lain saat kapal melanjutkan perjalanan. Sekelompok kera berekor panjang duduk  di atas pohon, suaranya memecahkan kesunyian. Nahkoda memperlambat kecepatan kapal supaya kami bisa lebih jelas melihat pemandangan ini.

“Lihat itu,” tunjuk Gita.

“Itu bekantan, nama lainnya kera Belanda,” sahutku.

“Bule dong mereka.”

“Lihat saja hidungnya mancung.”

“Ada yang sedang makan daun,” tunjuk Gita.

“Iya, saat sore seperti ini mereka ke sungai untuk makan dan memilih tempat tidur. Mereka hidup berkelompok, masing-masing kelompok dipimpin oleh bekantan jantan yang besar dan kuat,” jelasku.

“Tau dari mana kamu?”

“Baca buku dong.”

“Mereka itu cantik ya. Bulu ekornya panjang berwarna putih, punggung dan bahunya berwarna coklat kemerah-merahan sedangkan dada dan perutnya berwarna putih keabu-abuan,” papar Gita penuh takjub.

“Makanya mereka dijadikan maskot Dunia Fantasi Ancol.”

Gita teringat boneka yang ada di Dunia Fantasi Ancol (Dufan), “Wah iya, maskot Dufan ada banyak di sini.”

Senja beranjak pergi, membawa serta langit sore yang bercahaya. Semburat jingga memantul pada air sungai perlahan pudar, samar-samar menjadi kelabu. Lalu langit malam datang menebar gelap.

Geladak kapal telah disulap menjadi kamar hotel yang nyaman. Aku dan Gita duduk di sudut kapal menikmati malam spesial kami yang gelap. Angin malam berhembus, dinginnya menusuk sampai ke tulang. Ada kilau cahaya muncul dari balik pohon, aku mengurungkan niatku yang ingin beranjak ke dalam. Sesuatu yang bercahaya melayang-layang pelan. Jumlahnya semakin lama semakin banyak, kuamati gerak pijar itu dengan takjub. Sayap-sayap yang bercahaya.

“Gita, lihat kunang-kunang bermunculan,” tunjukku.

“Ini seperti dalam dongeng,” Gita terperangah menyaksikan ini.

“Kamu tau nggak Git mitos tentang kunang-kunang?”

“Iya, waktu kecil yang kita tau kunang-kunang itu berasal dari kuku orang yang sudah mati.”

Kami berdua tertawa, mengingat kenangan masa kecil. Saat malam tiba dan kunang-kunang bermunculan, bergegas masuk rumah dan tak berani keluar lagi. Sekarang di kota sudah tidak kami temui lagi kunang-kunang. Pohon-pohon ditebang untuk membangun rumah. Listrik terang benderang menerangi setiap sudut. Mereka telah terusir dari habitatnya.

Malam semakin larut, aku dan Gita tak bisa menahan kantuk. Segera kami masuk ke kamar berkelambu, merebahkan badan dan memejamkan mata. Semoga kami masih bisa bermimpi untuk berpetualang ke tempat indah lainnya.

Ranukumbolo Yang Menawan

Menjelang gelap akhirnya saya tiba di Ranukumbolo, samar-samar masih terlihat cahaya yang memantul pada air danau. Warna-warni tenda pendaki mengelilinginya, ramai terdengar suara di antara tenda-tenda. Saya dan Vera masih tertahan di tebing di atas Ranukumbolo, ingin rasanya segera turun dan mencari di mana tenda kami. Tapi kami harus menunggu sampai ada pendaki lain lewat sebagai penunjuk jalan. Jujur saya tidak tahu jalan untuk mencapai area camping, karena gelap sayapun tidak mau mengambil resiko jika terpeleset ataupun salah jalan.  

Akhirnya saya bisa menemukan rombongan dan tenda kami di antara puluhan tenda. Tanpa membuang waktu saya segera mengganti baju yang saya pakai. Rasa kantuk mulai menghampiri tapi hujan sudah keburu datang. Saya dan Vera mulai panik ketika kami menemukan air menetes masuk ke tenda, buru-buru kami mengeluarkan jas hujan dan memakainya. Sungguh saya tak ingin baju bersih yang tersisa di badan ini basah, lumayan jas hujan juga bisa menghangatkan badan. Saya menampung tetesan air dengan kantong plastik supaya tidak mengalir ke dalam tenda. Duduk meringkuk pada bagian yang kering dan berharap hujan segera berhenti. 

 
Beruntung kami sampai di tenda sebelum hujan turun, sedangkan sebagian dari rombongan kami entah sudah sampai di mana mereka dan pastinya kehujanan di jalan. Akhirnya saya mendengar suara mereka memanggil, tiga peserta dari trip Bolang Adventure masuk ke tenda kami dalam kondisi badan basah kuyup beserta tas yang mereka bawa. Saya berusaha membantu mereka untuk bisa nyaman dan hangat sambil mereka mengganti pakaian.

Melihat kondisi mereka ada rasa prihatin, di mana jas hujan mereka? ini gunung teman bukan tempat bermain. Semua orang boleh mendaki gunung tentu dengan persiapan yang maksimal. Tak hanya badan yang basah tapi isi tas merekapun basah. Saya sendiri banyak belajar dari teman yang memang sudah sering mendaki gunung. Kenapa sebelum mendaki mereka rajin olah raga terutama lari? dan ternyata olah raga melatih kaki, jantung dan pernapasan. Terbiasa olahraga membuat kaki tak gampang keram saat mendaki dan napas tidak ngos-ngosan. Soal packing perlengkapan di tas sayapun banyak belajar dari teman, ada baiknya tas dilengkapi dengan runcover gunanya ya supaya terlindung dari hujan , di dalam tas lapisi dengan kantong plastik besar atau bisa menggunakan trash bag gunanya ya melindungi isi tas supaya tidak basah terkena hujan terutama pakaian dan ini penting. Pakaian mereka basah dan sleeping bag juga basah karna diletakkan di luar tas, malam itu saya harus berbagi semua yang saya punya supaya mereka tidak kedinginan.

Empat jam perjalanan dari basecamp Ranupani sampai ke Ranukumbolo ditambah perjalanan dari Jakarta menuju Malang telah banyak menguras tenaga, tidur hanya itu yang saya butuhkan. Bersyukur saya bisa tidur nyenyak dan entah pukul berapa hujan benar-benar berhenti. Saat saya bangun, di luar tenda sudah ramai oleh para pendaki. 

Pagi yang cerah setelah malam diguyur hujan, sayang kalau hanya di dalam tenda. Saya membaur dengan pendaki lain menikmati pagi yang indah. Semburat cahaya keemasan menyapu permukaan Ranukumbolo. Perlahan rumput yang basah sisa air hujan mulai menguap kepermukaan, sunrise yang cantik muncul dibalik punggung Ranukumbolo. Kini kehangatan membalut ranukumbolo, semuanya tampak sibuk dengan aktivitasnya. Sebagian besar berfoto dengan latar sunrise Ranukumbolo dan sebagian lagi memanfaatkan pagi yang cerah dengan menjemur barang-barang yang basah. Sedangkan saya menghangatkan badan dengan minuman hangat buatan Vera sambil memandang Ranukumbolo.


Matahari mulai tinggi dan suasana Ranukumbolo mulai terlihat jelas, libur panjang di akhir Mei 2015 dimanfaatkan sebagian orang untuk mendaki Semeru. Tak heran puluhan tenda memenuhi area camping di Ranumumbolo hampir tak ada jarak. 






Pesona Semeru tak hanya pada Ranukumbolo tapi ada juga Oro-oro Ombo. Oro-oro Ombo adalah hamparan padang savana luas di Gunung Semeru yang ditumbuhi oleh tanaman berbunga ungu. Warna ungu bunga ini sering disalah artikan oleh pendaki sebagai bunga lavender. Nah yang benar bunga ungu ini adalah Verbena Brasiliensis Vel. Dari namanya sudah bisa ditebak bunga ini berasal dari Brazil. Meskipun tampak indah tapi bunga ini bersifat invansif, bisa mendominasi dan menguasai habitat sehingga menggusur spesies tanaman asli TNBTS. Selain itu bunga ini juga banyak menyerap air. 




Untuk menuju ke Oro-oro Ombo kami melewati Tanjakan Cinta. Tanjakan Cinta ini berupa jalan setapak menuju bukit dengan kemiringan kurang lebih 35 derajat. Mitosnya jika kita melewatinya dihimbau untuk tidak menoleh ke belakang jika kita tak ingin putus cinta.




Pukul sembilan kami meninggalkan Ranukumbolo, sedangkan pendaki lainnya ada yang meneruskan pendakian sampai ke puncak Mahameru. Di jalur turun kami harus antri dengan pendaki lainnya yang baru mulai mendaki. 


*****

Catatan:  
Jika kita ikut open trip dari agen travel biasanya kita tinggal terima beres mulai dari meeting point sampai kembali lagi ke meeting point seperti saya saat itu. Tapi jika kita mengatur sendiri perjalanan kita untuk menuju ke basecamp Ranu Pani bisa dimulai dari kota Malang. 

Dari Malang bisa langsung carter angkot ke Pasar Tumpang. Alternatif berikutnya dari stasiun Kota Baru Malang bisa naik angkot ke terminal Arjosari, dari terminal Arjosari dilanjutkan naik angkot warna putih tulisan TA menuju Pasar Tumpang. Nah dari Pasar Tumpang menuju Ranupani lebih asik naik Jeep. Bisa sewa atau kalau tidak punya rombongan bisa gabung dengan rombongan lainnya yang jumlahnya sedikit. 

Untuk booking bisa secara online  http://bromotenggersemeru.org/form/home


Hafidz Qur'an yang Hobby Naik Gunung

Tepat pukul 15.15 WIB kereta Matarmaja perlahan meninggalkan stasiun Pasar Senen, perjalanan panjang yang akan berakhir di stasiun Malang. Keril-keril besar telah memenuhi hampir  seluruh bagasi gerbong kereta. Long Weekend di akhir Mei 2015 dimanfaatkan oleh sebagian besar anak muda untuk naik gunung. Bisa ditebak, tujuan mereka adalah gunung Semeru ataupun gunung Bromo. 

Saya sudah duduk manis di gerbong 4 bersama empat  teman saya, tujuan kami ke Malang tak lain ingin mendaki gunung Semeru. Kereta AC Ekonomi Matarmaja ini cukup nyaman, AC nya dingin dan gerbongnyapun bersih. Petugas restorasi mondar-mandir menawarkan makanan dan minuman ke penumpang. Cukup nyaman untuk perjalanan panjang Jakarta ke Malang.

Saya dan teman-teman di kereta Matarmaja
Berbincang adalah cara kami untuk mengisi waktu dalam perjalanan panjang  selama 16 jam, selalu ada bahan obrolan yang kami bahas. Ramai juga terdengar obrolan dari rombongan penumpang lainnya. Tak terasa hampir 3 jam terlewati ketika kereta memasuki stasiun Cirebon. Waktu sholat  Magrib pun tiba kami bergantian antri ke toilet dengan penumpang lain untuk berwudhu. 

Ada hal yang menarik perhatian saya pada rombongan di seberang bangku kami, rombongan pendaki laki-laki yang juga bergantian untuk sholat  Magrib. Setelah sholat, salah satu dari mereka mengeluarkan Alquran dari tas kecilnya kemudian membacanya lirih. Alquran itupun didekapnya di dada, matanya terpejam dan mulutnya tetap komat-kamit berusaha untuk menghafalnya. Inilah yang menarik perhatian saya, ternyata mereka seorang Hafidz Quran. Ada juga yang membacanya melalui aplikasi Alquran di HP.

Ada rasa bangga dalam diri saya ketika menyaksikan pemandangan itu, bangga karna seorang pendakipun adalah seorang Hafidz Quran. Di manapun dan kapanpun tugas untuk menghafal Alquran itu tetap ia lakukan. Bangga dan terharu ketika melakukan perjalanan selalu dikelilingi oleh teman-teman yang taat dalam ibadahnya. Teman yang tak lupa untuk menghatamkan ODOZ (one day one juz) bacaan Alquran, semua itu memotivasi diri saya.

Keesokan harinya kurang lebih pukul sembilan kereta Matarmaja tiba di stasiun Malang, semua penumpang berhamburan keluar gerbong. Perhatian saya sudah tak terfokus pada mereka, karena saya sibuk mencari rombongan saya yang sudah menunggu di luar stasiun. 

*******

Tak disangka kami bertemu lagi ketika saya dalam perjalanan turun dari Semeru, kami berpapasan di jalur antara pos 2 dan 3. Ketika saya sudah turun dari Semeru justru rombongan mereka hendak naik. Salah satu dari mereka bahkan masih mengenali saya.

"Eehhh si Mbak udah turun aja," sapa salah satu dari mereka.

"Waah iya saya udah turun duluan karena hanya sampai ranukumbolo aja," jawab saya.

Masing-masing dari kami melanjutkan perjalanan, karena di jalur mendakian padat dengan antrian antara yang mau naik dan turun.


Ranukumbolo yang tetap memesona


- Copyright © Jalan-jalan Asik - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -