- Back to Home »
- Menyapa Pagi Dari Puncak Merbabu
Posted by : Jalan-jalan Asik
11 Des 2014
Mobil
carry yang membawa kami mulai berjalan menanjak kemudian mengikuti
jalan aspal yang berliku-liku dan melewati jalan sempit yang hanya
bisa dilalui satu mobil. Menoleh ke kanan di lembah terlihat
terasering perkebunan warga memberikan suguhan pemandangan yang indah. Ada perasaan terharu yang saya rasakan, saat ini saya
berada di kaki Gunung Merbabu menuju basecamp
pendakian
Gunung Merbabu jalur Selo tepatnya di dukuh Genting desa Tarubatang
kecamatan Selo kabupaten Boyolali Jawa Tengah. Sudah jauh
meninggalkal Ibu Kota Jakarta.
Keinginan
mendaki gunung awalnya saya sampaikan ke Dwi, teman yang beberapa
kali telah menemani saya mendaki gunung. Gunung
Merbabu memang tak sepopuler Gunung Semeru, Rinjani atau Kerinci.
Gunung yang memiliki ketinggian 3142 mdpl (meter di atas permukaan
laut) ini terletak di 3 kabupaten di Jawa Tengah yaitu Semarang,
Boyolali dan Magelang. Gunung yang menjadi favorit para pendaki
karena memiliki jalur pendakian yang beragam dengan berbagai tingkat
kesulitan. Tapi bagi saya asalkan medannya tidak terlalu berat dan
memiliki view
yang indah akan saya coba mendakinya. Maklumlah saya bukanlah seorang
pendaki, saya hanya seorang traveler
yang menyukai keindahan alam. Ini kali pertama saya mendaki gunung dengan
ketinggian di atas 3000 mdpl.
Basecamp pak Parman |
Sekitar
pukul 11.00 WIB kami tiba di basecamp
Pak
Parman, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam dari
Yogyakarta.Menurunkan carrier dari mobil dan membawanya ke dalam basecamp. Di basecamp Selo ini saja sebenarnya kami sudah berada di ketinggian kurang lebih 1838 mdpl. Udara dingin mulai saya rasakan, saya senang berada di tempat sejuk seperti ini. Sesekali paru-paru saya harus di isi udara segar, jauh dari polusi perkotaan. Di basecamp terlihat kesibukan beberapa rombongan pendaki, sepertinya mereka akan mendaki siang ini. Saya akan mendaki bersama 11 orang teman diantaranya Dwi, Nurdiyanah, Bang Iwan, Bang Ase (Guide), Bang Dede (Guide), Arya, Mega, Dicky, Gita, Umam dan Zhiyau.
Persiapan
Tanpa
membuang-buang waktu lagi kami langsung membongkar carrier,
memisahkan
barang-barang yang tidak perlu dibawa naik untuk kemudian dititipkan
di basecamp.
Mengumpulkan
perlengkapan tim seperti tenda, trangia, kompor portable, gas,
nesting, air, logistik dan lain-lain. Semua perlengkapan tim akan
dibawa oleh porter, jadi kami hanya membawa perlengkapan pribadi,
makanan ringan dan air. Di perjalanan dari Yogyakarta menuju Selo
kami sempat mampir di minimarket untuk melengkapi logistik yang tidak
kami bawa dari Jakarta. Kemudian mampir di pasar Talun Magelang untuk
membeli sayur-sayuran.
Di
tengah-tengah kesibukan kami untuk repacking,
datanglah seorang bapak yang akan menjadi porter kami.
“Barang-barang
yang akan saya bawa dikumpulkan saja, panggil saya Pak Jupri,”
bapak porter memperkenalkan diri kepada kami “jangan
kahwatir dengan saya, saya bekerja profesional tidak seperti porter
di gunung lain mungkin ada yang membuang barang-barang bawaannya di
jalan,”
tambah Pak Jupri meyakinkan kami.
Kemudian Bang Ase memberitahu Pak Jupri barang-barang
mana saja yang akan dibawa, Bang Ase juga menawarkan kepada kami
terutama peserta perempuan untuk menitipkan ke porter satu botol air
mineral seberat 1,5 liter. Hore, saya senang sekali beban saya makin
berkurang. Karena selama pendakian di jalur Selo tidak ada sumber air
maka Bang Ase mewajibkan kami masing-masing peserta membawa minimal
dua botol air mineral 1,5 liter sebagai bekal minum pribadi. Masih
cukup waktu untuk kami mandi, makan dan sholat dzuhur sambil menunggu
dua peserta lain teman Bang Ase yaitu Bambang dan Faqih yang masih
dalam perjalanan dari Pekalongan.
Setelah semua sudah siap, perizinan pendakian sudah
selesai diurus Bang Ase kemudian kami berbaris membentuk lingkaran.
Bang Ase memimpin olah raga pemanasan, menggerakkan kaki dan tangan
untuk menghindari keram otot kemudian berdoa sesuai agama
masing-masing. Bang Ase menyampaikan beberapa hal yang berhubungan
dengan pendakian.
“Oke,
kita jalan santai aja Bang Dede jalan di depan dan gue jalan di
belakang sebagai sweeper,”
jelas
Bang Ase “yang
jalan di depan akan menunggu yang di belakangnya jika sudah bertemu
bisa lanjut lagi, begitu seterusnya,”
tambah Bang Ase.
Puncak adalah target kita sedangkan pulang sampai ke
rumah dengan selamat adalah tujuan utama, inilah yang diserukan Bang
Ase kepada kami. Waktu beranjak siang jam di tangan saya menujukkan
pukul 01.00 WIB, berjalanlah kami menuju gerbang pendakian dengan
total rombongan 14 orang.
Langkah menuju 3142 mdpl
Senyum
merekah menghiasi wajah-wajah kami, penuh semangat kami melangkah
meninggalkan basecamp.
Di
depan gerbang pendakian kami sempat berfoto, kemudian berjalan di
jalan setapak jalur pendakian. Selain melalui jalur Selo, Gunung
Merbabu dapat didaki melalui jalur Wekas, Cuntel atau Tekelan.
Masing-masing jalur memiliki karakter yang berbeda, jalur Selo
terkenal dengan jalur terpanjang dan landai tapi kendalanya tidak ada
sumber air sepanjang Pendakian.
Foto by Umam |
Meninggalkan
gerbang pendakian jalan yang kami lewati masih landai, dihiasi hutan
cemara. Semakin jauh jalur semakin sempit dan track
mulai
menanjak. Ya, namanya juga gunung semakin ke atas pasti semakin
menanjak, di sebelah kanannya jurang dengan vegetasi tumbuhan hutan
yang rimbun. Nafas saya mulai ngos-ngosan
dalam
hati bicara sendiri “makanya
olah raga sebelum mendaki”.
Sesekali kami harus istirahat sambil menunggu yang tertinggal di
belakang. Belum lama melanjutkan perjalanan hujan mulai turun Bang
Dede bilang kabut yang mulai turun. Saya menengadahkan kepala ke
atas, pohon-pohon mulai basah dan debit air jatuh mulai deras. Ini
bukan kabut tapi benar-benar hujan, Bang Dede menyuruh kami untuk
memakai jas hujan atau
raincoat. Perjalanan
bisa kami lanjutkan kembali tapi tak berapa lama hujan mulai
berhenti, panas juga rasanya berjalan sambil memakai raincoat
yang akhirnya saya lepaskan.
Jika
kita berjalan cepat, umumnya perjalanan dari basecamp
ke
Pos I Dok Malang dapat ditempuh dalam waktu 1 jam. Tapi karena kami
berjalan santai dan banyak istirahatnya maka dari basecamp
ke
Pos I Dok Malang kami tempuh dalam waktu 1,5 jam. Pukul 14.30 WIB
kami sampai di Pos I Dok Malang, tanah datar cukup luas ini bisa
untuk mendirikan sekitar tiga tenda.
Pos I, Foto by Mega |
Cukup lama kami istirahat di
sini bahkan sempat foto-foto tapi Nurdiyanah dan Bang Iwan belum
terlihat juga menyusul kami, akhirnya kami melanjutkan perjalanan
menuju pos berikutnya lagi pula ada Bang Ase bersama mereka.
Track
masih
terus menanjak kami terus berjalan mengikuti jalur yang ada sampai
akhirnya kami memutuskan untuk istirahat lagi. Di depan ada batu
pipih tergeletak di tanah, Dwi mendahului saya duduk di sana
sebenarnya saya ingin menyusul Dwi tapi kedahuluan Zhiyau untuk duduk
di sana. Jadilah mereka duduk berdampingan, pemandangan ini justru
menimbulkan kelucuan apalagi Gita bilang kalau wajah mereka mirip.
Mereka berdua senyum tersipu yang lain bersorak “ciee..cieee”
dan sayapun tak mau ketinggalan, segera mengeluarkan kamera dan
mengabadikannya. Seketika suasana tegang karena keletihan jadi cair,
mendaki bersama orang-orang yang gokil
seperti
ini rasanya capekpun tidak terasa.
Saya
tidak bisa memperkirakan seberapa jauh dan lama lagi perjalanan ini.
Jika track
sebelumnya
lurus dan landai, maka track
berikutnya adalah sedikit berliku-liku dan menanjak. Sampailah saya
harus melewati jalan menanjak, berhenti sebentar sambil berfikir
bagaimana cara melewatinya. Masalahnya bukan pada tanjakannya tapi
tanah yang harus saya injak itu benar-benar licin setelah diguyur
hujan dan dilewati pendaki-pendaki sebelumnya. Untunglah ada Dicky
yang menawarkan bantuan dengan mendorong carrier
saya,
yeah saya berhasil melewatinya dan kini saya sudah berada di Pos
Banyangan menuju Pos II.
Satu persatu dari kami sampai di Pos
Bayangan ini, yang tidak ketinggalan foto-foto lagi di sini. Tidak
perlu lama istirahat di Pos Bayangan ini karena kami harus
melanjutkan perjalanan menuju Pos II. Suasana mulai gelap berkabut,
beberapa kali kami harus berhenti untuk istirahat. Saat berhenti saya
tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk meneguk air, rasa laparpun
mulai saya rasakan. Sepertinya makan siang saya saat di basecamp
sudah tak bersisa lagi di perut saya. Ada coklat yang bisa saya makan
untuk mengganjal perut, dan menawarkannya kepada Gita dan Dicky yang
berada tak jauh dari saya. Belum lama kami melanjutkan perjalanan
hujan mulai turun lagi.
Menuju Pos Bayangan |
Istirahat, foto by Gita |
“Ayo
dipakai lagi jas hujannya,” seru
Bang Dede kepada kami.
Semua terlihat mulai keletihan, kecuali Umam sering
sekali dia berlari-lari mendahului saya. Bikin iri saja lihat Umam
lincah seperti itu.
“Umam,
enak banget sih bisa lari-lari gitu,” protes
saya begitu Umam mendahului saya.
“Iya
Mbak, kan saya sudah terbiasa lari,” jelas
Umam kepada saya.
Iya
deh yang terbiasa jogging
batin
saya. Di tangannya ada handphone
sedang
merekam video perjalanan kami. Akhirnya sampai juga kami di Pos II,
di tanah lapang ini kami istirahat. Nurdiyanah meluruskan kakinya
yang keram, sedangkan Bang Ase terus bercanda dan Gita lah yang
menjadi sasaran keusilan Bang Ase. Setelah merasa cukup untuk
beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos III karena hari
mulai beranjak sore.
Kabut dan guyuran hujan |
Narsis ahhh |
Menuju Pos III |
Sampai
di Pos III di ketinggian lebih dari 2500 mdpl Gita sudah tak mampu
menahan kantuknya, kemudian tidur di atas rumput kering beralaskan
jas hujan. Pos III memiliki tanah lapang yang bisa untuk camping
ground. Kami
duduk memunggungi bukit, di sebelah selatan terlihat puncak Gunung
Merapi diselimuti kabut. Mega, Arya dan Dicky terlihat asik berfoto
dengan background
Gunung
Merapi. sedangkan saya menyantap biskuit untuk mengganjal rasa lapar.
Ada yang menarik perhatian saya ketika pandangan saya mengarah ke
arah selatan, di sana ada lahan sisa kebakaran. Saya tidak bisa
memperkiran seberapa luas lahan yang terbakar itu karena terlihat
jauh dari saya berdiri dan entah apa penyebabnya. Karena hari mulai
gelap maka kami segera melanjutkan perjalanan.
Pos III, foto by Mega |
Meninggalkan
Pos III, tenaga saya benar-benar habis sedangkan track
yang
harus kami lewati semakin menanjak. Pelan saya berjalan kepayahan,
mengeluhpun kepada siapa ini di gunung tidak boleh cengeng, tidak
untuk menangis. Dua bulan yang lalu keputusan ini sudah saya ambil
untuk mendaki Gunung Merbabu dan inilah konsekuensi yang harus saya
jalani.
Sebelum hari benar-benar mulai gelap, Bang Dede menyuruh
kami menyalakan senter atau headlamp.
Meskipun
pelan saya terus berjalan, Dwi, Gita, Bang Dede dan Faqih berjalan di
depan saya. Punggung mereka sudah tidak terlihat lagi sedangkan di
depan ada dua jalur. Saya berdiri diam membandingkan kedua jalur
tersebut mana yang lebih mudah untuk dilewati, semuanya adalah
tanjakan terjal. Saya berusaha teriak, bertanya kepada mereka
berempat sebaiknya pilih jalur yang mana.
“Ada
dua jalur ini, lewat yang kanan atau yang kiriii?” teriak
saya berharap yang di atas mendengarnya.
“Pilih
yang mana ini jalurnyaaa?” teriak
umam yang ada di belakang saya berusaha membantu.
“Sama
aja, pilih yang lebih mudah,”
jawab Bang Dede dari atas.
Entah
kenapa akhirnya saya memilih jalur sebelah kiri, baru empat langkah
saya tersadar kalau jalur yang saya pilih benar-benar terjal. Saya
harus memanjat tanah, berusaha mencari cekungan untuk saya injak
bahkan tidak ada tanaman atau akar pohon yang bisa saya raih untuk
pegangan. Alhasil saya harus mencengkram tanah agar bisa memanjatnya.
Langkah saya terhenti, tenaga saya benar-benar habis dan kaki kanan
sudah tak mampu lagi saya angkat. Carrier
yang
saya bawa terasa memberatkan, kedua tangan berusaha kuat mencengkram
tanah menahan bobot tubuh supaya tidak terjatuh. Dalam kondisi
seperti ini rasanya ingin menangis, tapi masih ada yang bisa saya
minta tolong.
“Tolong
akuuu,”
teriak saya minta bantuan kepada siapapun.
Di belakang saya Umam meminta
agar Zhiyau membantu saya. Kemudian Zhiyau berusaha menolong
dengan cara mengangkat dan mendorong carrier
saya. Tapi
tetap saja saya tidak mampu memanjatnya, berharap ada yang membantu
menarik tangan saya dari atas.
“Kaki ku keraaam,”
teriak saya spontan.
Sesungguhnya tidak
benar-benar keram sih, tapi karena tenaga saya sudah habis akhirnya
tidak sanggup lagi untuk melangkahkan kaki.
“Bang Dede ada yang kakinya keram, tolongiiin,”
Umam teriak
pada Bang Dede.
Tak
berapa lama Bang Dede datang membantu saya, alhamdulillah saya
berhasil melewati ini. Di atas sudah ada Dwi dan Gita yang menunggu
kemudian kami melanjutkan perjalanan. Di tengah kegelapan kami
dikejutkan oleh suara Pak Jupri porter kami.
“Kalian lama sekali sampainya,” kata
Pak Jupri “sini tasnya saya bawa,”
tambah Pak Jupri menawarkan bantuan.
Dengan senang hati saya dan Gita
menyerahkan carrier ke
Pak Jupri. Mungkin Pak Jupri sudah lama menunggu kedatangan kami,
tenda-tenda sudah beliau dirikan di Pos IV (Savana I). Sebelum sampai
di tempat camping kami
duduk beristirahat di tanah datar yang cukup luas, satu persatu
rombongan kami datang dan menyusul duduk di antara kami.
Suasana
sudah gelap karena jam sudah menunjukkan pukul 18.30 WIB. Dari
kejauhan di depan kami pemandangan malam kota Magelang terlihat
indah, samar-samar terlihat kerlap-kerlip lampu di antara rumah
penduduk. Puas menikmati keindahan malam, berjalanlah kami menuju
tenda.
Buru-buru saya masuk tenda
setelah memastikan yang mana tenda untuk perempuan, saya dan Dwi
harus terpisah kali ini tapi tenda kami berhadapan. Mega lah teman
setenda saya malam ini, tenda kapasitas 4 orang ini hanya diisi kami
berdua. Huaaa terbayang bagaimana dinginnya nanti dan saya ingin
segera tidur, hanya tidurlah yang bisa mengembalikan stamina. Mega
sudah meringkuk dalam sleeping bag
sambil asik mendengarkan musik di handphone. Di
luar sepertinya Bang Ase berdiskusi dengan peserta lain tentang
rencana summit attack mau
pukul tiga dini hari atau pagi pukul delapan dan kesimpulannya
summit attack dimulai
pukul delapan pagi. Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan
kondisi fisik rata-rata peserta yang mulai keletihan.
Berulang kali Arya memanggil nama Mega
di depan tenda kami, sepertinya Arya ingin memastikan keadaan
sahabatnya. Umam datang sambil bawa makan malam untuk kami dan
meletakkannya di depan tenda.
“Ayo makan, perintah komandan harus makan,”
kata Umam.
Wah siapa yang masak batin saya,
padahal saya sudah siap tidur. Ada nasi, sayur dan tempe goreng yang
tak bisa saya sia-siakan karena perut memang harus diisi.
Menggapai
Puncak
Pagi
akhirnya datang, saya berdiri untuk menyambut pagi yang cerah. Senyum
mulai menghiasi wajah saya ketika garis merah terlihat di permukaan
langit. Sebentar lagi sunrise
indah
akan muncul dan menyinari permukaan Gunung Merbabu. Senyum ini untuk
menyapa hari yang cerah dan menyambut hari baru, hari yang indah buat
saya. Hari berganti berarti usia saya pun bertambah. Rasa syukur tak
henti-hentinya saya ucapkan kepada Allah SWT, saya bisa berdiri di
tempat yang indah ini. Harus menunggu beberapa menit lagi untuk saya
bisa melihat sunrise
terlihat
indah. Saya sudah menyapa pagi ini dengan perasaan bahagia dan penuh
rasa syukur.
Setelah menyantap
sarapan pagi, sekitar pukul 07.00 WIB kami melanjutkan perjalanan
menuju puncak. Ada Pak Jupri yang akan menunggu barang-barang kami di
tenda. Akhirnya saya bisa melihat bunga adelweis dan pohon cantigi
lagi, dua tanaman yang hanya bisa saya temui di dataran tinggi. Untuk
bisa sampai ke puncak kami harus melewati dua bukit teletubbies, dari
Savana I menuju puncak umumnya dapat ditempuh dalam waktu 2 jam.
Melewati Savana II pemandangannya benar-benar memanjakan panca
indera, subhanallah
ini indah sekali. Tak hanya bukit teletubbies tapi ada hamparan
padang ilalang menghiasi bukit dan lembah. Dipercantik langit biru
yang cerah lengkap sudah keindahannya. Mungkin inilah yang
diceritakan oleh para pendaki, bonus pendakian melalui jalur Selo
adalah bukit teletubbies dan padang savana yang indah.
Savana II, foto by Umam |
Lembah yang indah |
Padang Ilalang |
Eksotis |
Tracknya Amazing |
Selangkah menuju Puncak Kentheng Songo |
Nah klo mau turun asiknya sambil lari-lari atau prosotan |
Meninggalkan Savana II tracknya seperti ini |
Langkah yang pasti menuju puncak |
Kemiringannya lumayan menguras tenaga |
Kami menjejakkan
kaki di puncang Kentheng Songo sekitar pukul 09.00 WIB, bersyukur
cuaca cerah. “Assalamu'alaikum
Merbabu”
lirih terucap di bibir saya, hari ini adalah hari yang indah buat
saya karena ini hari ulang tahun saya. Hati saya dipenuhi rasa syukur
kepada Allah SWT, telah banyak nikmat yang Allah curahkan kepada
saya. Sukses merahasiakan ini semua ke teman-teman sependakian,
mereka tidak ada yang tahu kalau hari ini saya ulang tahun. Tidak
bermaksud untuk tidak membagi kebahagiaan tapi saya ingin melewati
hari ini dengan cara yang berbeda.
Yang menjadi petanda Puncak Kentheng Songo adalah adanya batu cekung yang berisi air, semua orang berfoto di sini untuk mengabadikannya sebagai kenang-kenangan. Kami tidak lama ada di Puncak Kentheng Songo, setelah berfoto dengan 14 orang personil lengkap kami meninggalkan Puncak Kentheng Songo menuju Puncak Trianggulasi. Puncak
Trianggulasi letaknya tidak jauh dari Puncak Kentheng Songo karena kedua puncak ini sejajar. Lima menit berjalan kami sudah sampai di Puncak Trianggulasi puncak tertinggi dengan ketinggian 3142 mdpl, dari sini puncak Gunung Merapi terlihat jelas. Hanya satu jam kami berada di dua puncak ini, kurang lebih pukul 10.00 WIB Bang Ase mengajak kami segera turun.
“Ayo turun,
jangan lupa sampah-sampahnya dibawa turun,”
ajak Bang Ase.
Inilah mendaki gunung,
perjalanannya ditempuh dalam waktu berjam-jam dan berkilo-kilo meter
tapi menikmati puncak hanya beberapa menit dan jam saja. Pada
akhirnya sebuah perjalanan tidak semata-mata dilihat dari hasil atau
puncak yang telah kita raih, tapi lebih ke proses yang kita jalani.
Setidaknya itulah makna yang bisa saya ambil dari perjalanan panjang
ini.
Puncak Kentheng Songo |
Peserta dan Guide Wisata Gunung |
Empat sekawan |
mantappsss
BalasHapusMakasih mas Agus, pengen liat ora-ora ombo yang bagus bulan apa ya.
HapusBagus tulisannya, detail sekaliii :D
BalasHapusHahahaha, jadi malu ada nama Gita disitu ^^"
Alhamdulillah makasih Gita, itu terlalu detail dan panjang klo dikirim ke media pasti dibalikin. Gita lagi gita lagi ya hahhaha semua nama aku masukin.
Hapusahhh.. jadi kangen merbabu..
BalasHapuswaktu itu mendaki kesana berempat doank, cewe2 semua, dan semuanya kabur dari tugas kantor/tugas kuliah.. hahaha..
Kereen Endah jalan cewek semua ohh ya lewat jalur mana Ndah?
Hapusdulu naik turun lewat desa wekas..
Hapuspengen kesana lagi nih.. soalnya dulu pas kesana kena badai dan kabut.. jadi view perbukitannya tidak terlalu jelas gitu deh..
Wahhh wanita kuat semua ini, hebat yahhh salut deh pokoknya. saya jhe dulu waktu mendaki gunung merbabu turun jhe kaki udah gemeteran.. hihi. salam kenal semua.
BalasHapusSalam kenal, latihan fisik sebelum naik jadi dikuat-kuatkan.
Hapusiyah memang harus latihan fisik terlebih dahulu tks info
Hapus